Hiruk pikuk perkotaan terlihat begitu sesak. Gumpalan daging tegap dan berjalan memenuhi segala penjuru dengan berbagai aroma yang memuakkan. Kendaraan yang berbeda bolak-balik di arteri perkotaan, asap abu-abu yang ngebul itu seringkali menghalangi pandanganku. Rangkaian mesin yang bergerak itu juga mematikan dan seringkali membunuh kami, para kucing liar. Ya, memang mereka tidak sengaja, tetapi setidaknya mereka mengubur kami, bukannya ditinggalkan begitu saja.
Aku, seekor kucing telon betina yang masih berumur tujuh bulan. Tidak terlalu anak-anak dan juga belum dewasa. Aku sangat hapal setiap sudut jalanan di pusat kota, tempat aku dilahirkan. Tapi sayangnya, seseorang menangkapku disana. Seorang anak laki-laki, dia tiba-tiba memasukkanku kedalam kotak dengan pintu bercelah dan membawaku ke suatu tempat.
Aku sangat panik dan gelisah saat itu. Terlebih saat anak itu membuka pintu kotak yang mengurungku, ada seekor anjing tepat didepanku. Anjing itu menatapku, lidahnya menjulur dengan sedikit liur yang keluar dari mulutnya. Nampak seperti makhluk itu akan menangkapku sebagai mainan.
Aku menggeram dan langsung lari tunggang langgang. Aku melompati meja, aku menabrak semua barang yang ada disana sampai terdengar suara benda yang pecah. Lalu aku kembali melompati jendela, berharap ada celah terbuka untukku bisa kabur. Aku dapat mendengar si ibu dari anak laki-laki itu menjerit, tetapi bukan karena aku yang kabur melainkan barang-barang yang kutabrak hancur berantakan.
Tentu saja, anjing adalah musuh kami di perkotaan. Mereka ganas dan menakutkan dengan gigi runcing mereka, ya, walaupun kami juga mempunyai gigi runcing tetapi milik mereka jauh lebih besar dan tebal. Hampir setiap hari kami berseteru dalam hal makanan dan terluka akibat cakaran dan gigitan mereka. Aku tak mau hal mengerikan itu terjadi padaku.
Aku terus berlari, aku menemukan sebuah celah di pintu. Sepertinya itu merupakan celah untuk memasukkan surat, aku sering melihatnya di rumah-rumah di perkotaan.
Aku menerobosnya dan berhasil keluar, menjauhi rumah tersebut sambil terus berlari. Tak sadar, aku melihat sesuatu menabrakku sampai aku terpental beberapa meter. Yang aku lihat sebelum aku pingsan adalah sebuah sepeda dan sesosok manusia dengar suara samar yang aneh.
Aku membuka mata, aku berada disuatu tempat. Kepalaku sedikit pusing dan kaki depan kananku terasa begitu sakit. Aku melihat kain putih membalutnya dengan sedikit noda merah yang samar. Aku mencoba bangkit, namun tidak bisa. Tak berapa lama kemudian, sosok remaja wanita menghampiriku dengan membawakan sesuatu. Aromanya begitu nikmat dan lezat.
"Oh, kau sudah bangun?" tanyanya padaku. Aku hanya terdiam saat ia mulai memberiku sesuatu yang beraroma lezat itu. Ikan—yum, makanan favoritku! Tanpa basa-basi aku mulai melahapnya dengan posisi duduk. Sudah lama sekali aku tak merasakan makanan lezat ini.
Setelah kenyang, remaja itu mengelus kepalaku. Hangat dan lembut, membuatku tak bisa menolak setiap ia mengelus tiap helai buluku.
"Maaf, ya, aku tak sengaja menabrakmu tadi. Aku juga terkejut saat tiba-tiba kau berlari seperti itu di jalan."
Wanita itu lalu berdiri, "Kau istirahat saja disini ya, kalau sudah sembuh baru kau bisa kembali ke tempat asalmu." Ia tersenyum lalu bergegas pergi.
Langkahnya terhenti, ia memutar balikkan tubuh dan kembali mengarah padaku.
"Tapi, aku harus memanggilmu apa, ya?"
Kucing! Karena aku memang kucing! Seruku kemudian dengan bahasa kucing yang pasti hewan jenis manapun tidak akan mengerti kecuali kucing itu sendiri.
"Haha, lucunya. Bagaimana kalau aku memberi kau nama Calesie? Nama itu terdengar cantik sepertimu," katanya kemudian sambil mengelusku kembali.
Calesie? Sepertinya bukan nama yang buruk, kataku kembali dengan mengeong.
"Baiklah, Calesie. Aku akan keluar dan membelikanmu makanan khusus kucing. Kau istirahat saja, ya?" Ia mengelusku lagi dengan cepat sebelum ia benar-benar beranjak dan meninggalkan ruangan.
Itulah pertemuan pertama kali, manusia itu sangat baik dan lembut. Sudah satu minggu aku tinggal dirumahnya, ia sangat menyayangiku. Dan aku juga baru mengetahui namanya saat pria sekitar tiga puluhan memanggilnya dengan nama Arshea.
Tapi setelah beberapa malam terasa sangat aneh. Arshea selalu pulang diatas jam tujuh malam, baju seragamnya lusuh dan sangat kotor padahal aku ingat sebelum Arshea berangkat ia memakai seragam yang bersih. Rambutnya yang berantakan diikatnya dengan asal, beberapa luka kecil juga terdapat di beberapa sisi tubuhnya yang terlihat.
Pria itu yang aku rasa adalah ayahnya selalu memarahi dan kerap bermain tangan. Arshea terlihat pasrah dan hanya bisa menunduk. Tentu saja itu membuatku gusar, terutama melihat ayahnya yang berkelakuan seperti orang mabuk. Terkadang aku mencium aroma yang memuakkan dan kuat menguar dari tubuh pria itu, Aku tidak tahu apa yang menempel padanya.
Masalahnya, setiap kali sang ayah bertemu dengan Arshea yang juga nampak kacau selalu ada perdebatan dan berakhir dengan pukulan yang membuat pipi Arshea memerah. Dan saat tengah malam tiba, aku yang masih setengah tertidur mendengar suara isak tangis dari atas kasur. Arshea tengah menangis. Tak jarang juga aku segera melompat dan membuatnya memelukku untuk menghiburnya.
Arshea yang ceria dulu kini sudah sirna, yang tersisa hanya kesedihan dan wajah yang membengkak karena menangis.
Aku sangat penasaran, apa saja yang dilalui olehnya sampai seperti itu setiap ia pulang. Suatu pagi, aku bertekad untuk mengikutinya. Arshea yang seperti biasa memakai baju yang rapi dan bersih berjalan menuju kesekolahnya yang hanya ditempuh dengan menaiki sebuah bus dan dengan waktu sepuluh menit.
Dengan keimutanku ini, aku bermanja dengan salah satu penumpang yang akan menaiki bus yang sama dengan Arshea. Beruntungnya, saat bus itu tiba, penumpang itu membantuku naik dan akhirnya kami pergi bersama walau Arshea tidak menyadari keberadaanku.
Terimakasih penumpang yang baik hati!
Selama di perjalanan, aku melihat banyak sekali kucing sepertiku berada di seluruh penjuru jalan. Memperebutkan makanan, berlari dari sesuatu, para manusia yang mengusir kami dari toko-toko mereka—sesuatu yang aku alami dulu.
Tidak terasa, akhirnya kami sampai di sebuah sekolah. Arshea mulai turun dari bus itu, diikuti olehku setelah dua atau tiga orang juga ikut menuruni bus itu.
Aku berjalan agak santai, mewaspadai kalau Arshea menyadari keberadaanku. Menyusuri semak-semak yang terpotong rapi. Aku dapat melihat banyaknya manusia dengan seragam yang sama melangkah masuk seperti Arshea. Aku 'menyusup' diantara mereka, karena aku kecil jadi tak ada yang menyadari kalau aku masuk, atau lebih tepatnya mereka tak peduli. Baguslah, dengan begini aku dengan leluasa bisa memantaunya dari manapun.
"Arshea!" suara teriak yang nyaring memanggil Arshea. Aku pun ikut menoleh. Terlihat beberapa murid perempuan yang sebaya dengan Arshea menghampirinya. Pakaian mereka sangat necis dengan sebuah bandana berbeda-beda tertanam di kepala mereka.
Aku berhenti dan duduk, menyaksikan Arshea dan teman-temannya itu.
"Mana roti lapisku?" tanya salah satu dari mereka, ia memakai bandana merah.
Arshea tersentak, matanya sedikit membelalak.
"Maaf, aku lupa. Aku benar-benar lupa," jawab Arshea dengan nada takut. Tubuhnya gemetar, aku dapat melihatnya dengan mataku ini. Sepertinya Arshea benar-benar lupa dengan hal itu.
Murid dengan bandana merah itu menarik napas frustasi, seketika ia menarik Arshea dengan kasar ke suatu tempat. Spontan aku langsung mengikutinya dengan melewati dinding. Melihat apa yang selanjutnya mereka akan lakukan.
-Bersambung-
P.S : Jika kalian menyukai bab ini, silahkan tekan VOTE atau komen jika ada kesalahan penulisan. Author bakal berusaha memperbaikinya...
Author masih newbie, btw~ hehe
Arigatou Gozaimasu~!
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly I've Become My Master
FantasySetelah insiden bunuh diri itu, majikanku terbaring koma dan meninggal. Aku, sebagai kucing peliharaanya, tidak tega melihat majikanku tertidur dengan begitu pulasnya di peti mati yang berukir warna emas. Aku melihat sosok tampan dengan sayap dan ju...