PANCARAN yang mengandung vitamin D terasa terik meskipun angin berembus kencang. Tangan pun harus memayungi wajah untuk melindungi penglihatan di saat berjalan lurus ke depan.
Sebelum berangkat menuju kampus, aku telah menggali informasi melalui ponsel dan laptop yang kutemukan di sudut ranjang. Segala jadwal kegiatan di universitas telah terperiksa, dan program studiku tidaklah seperti sebelumnya. Akan tetapi, klub yang kumasuki tetaplah sama. Sayangnya, itu membuatku lupa akan waktu dan menjadi terburu-buru. Sampai-sampai buku harian yang tertinggal di meja makan justru kubawa, karena tidak ingin berbolak-balik menuju kamar tidur.
Baiklah, hasilnya aku tidaklah terlambat atau salah waktu dalam mendatangi kelas seperti dahulu.
"Pagi!"
Sesudah memasuki halaman kampus, muncul seorang wanita berambut panjang yang memasang senyum lebar. Tangannya merangkulku dengan akrab, tetapi rasanya sedikit tidak nyaman, karena aku mengetahui bahwa dia adalah Eva.
"Ah ya, pagi," balasku sedikit kaku.
"Sendirian aja, di mana Kurt?" Kepalanya menengok ke beberapa arah yang mungkin sedang mencari keberadaan pria yang disebut tadi.
Kemungkinan aku dan Kurt selalu bersama setiap pagi menuju kampus sehingga Eva menanyakannya. Semoga saja pria tinggi itu tidak berdiri di lobi apartemen sampai sekarang hanya untuk menungguku.
"Aku sendirian. Kalau kamu, kenapa nggak bareng River?" Aku balik bertanya yang membuatnya melirik ke atas seperti sedang mengingat-ingat.
"Katanya, dia terapi lagi ke klinik," kata Eva sebelum melepaskan tangannya dariku, lalu menggedik bahu sejenak. "Memangnya, aku kelihatan dekat banget sama dia?"
Kehidupan yang berbeda, tetapi pasti ada kesamaan seperti sebelumnya. Bisa saja mereka berdua masih memiliki hubungan seperti yang kulihat.
"Menurutku begitu," jawabku. Jika mereka tidak terlihat dekat, mustahil aku merasa tidak dihargai oleh River sebagai kekasih. "Tapi, dia sakit apa sampai ke klinik?"
"Bukannya udah tahu?" Kakinya berhenti melangkah ketika kami sampai di antara dua gedung fakulitas. "Dia kena EID dan butuh konseling atau bimbingan ke aku. Karena kurang efektif, aku suruh dia ke psikolog langsung."
Mulutku terbuka tanda tidak paham. "EID itu apa—"
"Aku pergi dulu. Dah .... Ashley!" pamit Eva yang melangkah pergi ke gedung lain dan langsung menghampiri segerombol wanita yang menyambutnya dengan heboh.
Sembari menaiki undakan tangga menuju kelas, aku menghidupkan ponsel dan mencari tahu di internet mengenai apa yang dikatakan Eva. Setelah mendapatkan jawabannya, sebelah tanganku reflek membekap mulut akibat terkejut dan merasa bersalah.
Intermittent Explosive Disorder atau gangguan pada amarah yang sulit dikontrol hingga bisa meledak hanya karena masalah kecil. Teringat akan tanda-tanda River dalam menahan emosinya, seperti menggertakkan gigi atau mendengus keras. Seharusnya, aku tahu lebih awal dan tidak menghakiminya secara instan.
BRUK!
"Maaf!" ucapku setelah menabrak tubuh seseorang karena tidak fokus ke depan. Nyaris saja terjatuh, tetapi satu tanganku berhasil tertangkap. Aku mendongakkan kepala dan entah mengapa, ada perasaan lega dalam diri ini. "Kai?"
"Minggir," tukasnya kasar dan melepaskan tanganku dengan hawa permusuhan.
Kakiku sontak berlari untuk menyusulnya dan berniat mempertanyakan alasan atas reaksi buruk tersebut. Namun, aku berhenti dan merasakan jika situasi ini pernah terjadi sebelumnya. Tanganku mulai mengusap belakang leher dalam memikirkan semua kejanggalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deja Vu [ Ashley Lincate ]
Gizem / GerilimAshley Lincate, wanita yang menghadapi hilangnya ingatan dan terjebak dalam siklus kematian melalui pembunuhan. Namun, dirinya berhasil bangkit ke realitas yang berbeda dari kehidupan sebelumnya. Entah itu dari segi pekerjaan, karakteristik, termasu...