Bathara terbangun dengan peluh membingkai seluruh sisi wajahnya. Mimpi buruk dan ia tak bisa kembali tidur. Gusar, bahwa yang terasa saat ini hanya jantungnya yang berdebar cukup kencang.
Pukul tiga pagi. Dan genggaman tangannya mulai melemah. Air matanya turun meski tak tahu apa dan kenapa, layaknya terdapat ikatan mati kasat mata yang mengikat jantungnya. Begitu menyesakkan, begitu menyedihkan.
"Den, kenapa di sini? Cepat masuk, udara masih dingin. Simbok siap-siap mau pergi ke Pawon Wetan dulu." Ketika ia duduk menghadap ke langit utara Simbok menemuinya. Bathara memandang elok tempat Merapi samar terlihat dengan gugus rasi bintang di atasnya. Menjulur layaknya akar yang membelah horizon langit. Ia menengadah, melihat raut wanita yang telah merawatnya selama ini.
"Nggak apa, Mbok, saya cuma butuh waktu sebentar."
"Kenapa, Den? Ndak sakit tho?"
Bathara hanya menggeleng pelan, memberikan seutas senyum simpul dan mengafirmasi bahwa semuanya baik-baik saja.
Simbok kembali masuk ke dalam, mengambil selimut tipis dan menyampirkannya pada pundak Bathara. Segelas wedang jahe dengan campuran gula merah turut serta ia letakkan di sampingnya. "Nanti masuk angin." Selepas itu Simbok mengambil tempat di sisi yang lain. Menepuk pundaknya pelan secara konstan. "Jangan lama-lama."
Ada garis-garis usia yang sepertinya semakin lama semakin jelas. Di usianya yang lebih dari setengah abad, Simbok memiliki kondisi tubuh yang sehat. Entah hal itu berkaitan dengan tradisi ngrowot yang selalu ia lakukan atau pekerjaannya sehari-hari yang menuntutnya selalu berjibaku dengan fisik. Meskipun sebenarnya Bathara selalu melarang Simbok melakukan pekerjaan berat. Namun, arahan itu tak pernah diindahkan. Di usia rentanya, seharusnya ia bisa pulang dan berkumpul bersama keluarganya.
Ada air muka teduh seperti biasa milik Simbok. Raut yang sama dengan beberapa tahun yang lalu. Selepas kepergian ibunya, dan Bathara yang belum bisa tidur lelap sendirian, selalu ada Simbok di sampingnya. Mulai dari alur hidup dari lahir dan mendewasa, dari tak berdaya hingga mencoba memikul daya. Dari yang tak tahu entah bagaimana dan mengapa, hingga pada akhirnya pelan-pelan, selangkah demi selangkah, Bathara menemukan titik terangnya sendiri.
"Tarik selimutnya, dan coba pejamkan mata. Simbok di sini."
"Dimerem-meremin, Den."
"Ndak ada apa-apa, kok. Hati yang ringan, obat yang paling mujarab, Den."
Tapi, bagi Simbok, inilah keluarganya. Mengabdi kepada keluarga Suryodiputran sejak usianya enam belas, dan akan terus begitu. Hingga menutup mata. Ia saksi kali pertama Bathara merangkak pelan, hingga menjejakkan kaki, kemudian berlari. Ia juga yang akan menyaksikan dengan kedua matanya sendiri, Bathara akan hidup dengan keluarga kecilnya sendiri.
"Masuk aja, Mbok... dingin loh."
"Kenapa tha, Den?"
"Kangen Ibu. Mbok." Ketika hidup sedang getir-getirnya, Bathara kira hanya ibu satu-satunya tempat dirinya menitipkan rasa.
"Simbok juga ibunya Den Bathara. Pun sedari Den Bathara lahir, Simbok juga ikut mengurus. Jadi, apa bedannya Simbok dengan Ibu Den Bathara? Nyonya ada di dekat kita, Den. Mengawasi kita. Kalau Aden melihat kunang-kunang, yang paling terang itulah yang membawa jiwa orang-orang yang telah tiada. Bisa jadi Nyonya salah satunya. Nikmati hidup di dunia, nikmati waktu yang dipunya. Bareng Simbok. Bareng Bapak. Bareng semua yang sayang sama Aden."
Mereka yang mati, meninggalkan orang-orang yang ada di dunia. Tapi entah, ada batas buyar tentang siapa yang meninggalkan dan siapa yang ditinggalkan.
Bathara tahu, bahwa Simbok pun pernah bilang. Setelah Ibunya, garwa padmi pergi, ada satu sosok peran yang hilang. Pelan-pelan terganti dan terlupakan, Bathara membiarkan ruang itu kosong, membiarkan dalamnya hampa. Tak terisi.
![](https://img.wattpad.com/cover/337598033-288-k533999.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotta Be You
RomanceSurat-surat tak pernah diterima, jarak yang membentang, dan seberkas cahaya senja yang rebah di cakrawala. Bagi Bathara, hidup harus berjalan sebagaimana mestinya: meskipun kehilangan orang yang paling dicintai memang tak memiliki penawar. Ia menge...