Penyesalan -- @irasta

174 12 3
                                    

Sudah setahun lamanya setalah ia pergi meninggalkan aku. Tidak bukan dia yang meninggalkanku, tapi aku yang pergi menjauh darinya.

Tuntutan dia akan sebuah komitmen, membuatku memutuskan hubungan kami yang terlampau masih seumur jagung.

Hubungan kami tak seperti orang kebanyakan. Hubungan kami hanyalah hubungan sex semata. Dengan dia yang rela memberikan tubuhnya hanya demi mendapatkan cintaku.

Baru tiga bulan lamanya kami berhubungan, ia menjadi wanita yang protektif terhadap segala sesuatu yang berkaitan denganku.

Aku marah, karena hubungan kami tak lebih dari hubungan ranjang tanpa status resmi. Dia yang masih mengharapkan cintaku, akhirnya memaksaku untuk menikahinya, atau setidaknya memberi status yang jelas seperti halnya pacaran.

Aku mulai jengah dengan sikapnya yang berubah belakangan ini, hingga akhirnya sebuah pertengkaran hebat terjadi di apartemen kami. Dia ketakutan, ku lihat ia menggigil dengan balutan tangannya sendiri. Bajunya sudah koyak, rusak oleh tangan kotorku. Keringat dingin mengucur, turun melewati pelipisnya. Bibirnya pun bergetar hebat. Wajahnya sudah pucat pasi, namun aku meninggalkannya, pergi meninggalkan segala yang berkaitan dengannya.

Satu tahun lamanya aku pergi meninggalkannya. Dan kini aku kembali untuk menemuinya. Wanitaku.
Apartemen yang menjadi saksi bisu hubungan intim kami berawal sudah tak terpakai. Engsel pintunya pun sudah berdecit nyaring. Debu tebal menutupi perabotan yang ada. Namun yang aneh adalah perabotan rumah itu tampak rapih, tidak seperti terakhir kali aku lihat,saat pertengkaran kami terjadi.

Aku menyusuri apartemen kami hingga aku berheti tepat di pintu kamar kami dulu. Semua masih sama, tak ada satu barang pun yang hilang. Kecuali satu hal yang selama ini selalu ku buang, namun selalu diletakan kembali olehnya.

Sebuah bingkai foto kecil di meja rias miliknya sudah tak ada di tempat. Bahkan peralatan makeup nya dulu masih tertata rapih di meja, tapi kenapa bingkai foto itu tak ada di tempat yang seharusnya?

Manik mataku beralih menuju sebuah tempat sampah kecil yang berisi pecahan bingkai dengan sobekan foto. Satu satunya foto kebersamaan kami.

Jantungku berdetak keras, nyeri tak tertahankan muncul di dada. Aku mencengkram dadaku, bagaikan ada sesuatu yang terus menusuk dadaku hingga tak kuasa aku menahannya.

Aku membuka handphoneku, menekan nomor terakhirnya yang tak pernah aku lupakan selama setahun ini. Aku harus menemuinya. Bagaimana pun caranya dia harus kembali padaku.

Nada sambung mulai menggantikan keheningan. Tak lama suara lembut miliknya terdengar di sebrang sana. Aku memintanya untuk bertemu malam ini di restoran tempat pertama kali kami bertemu. Ia setuju tanpa ada penolakan sedikit pun.

Aku tersenyum kemenangan, aku yakin ia memang tak akan bisa berpindah hati dariku.

Setelah lama aku menunggu waktu, waktu yang ditentukan pun tiba. Aku bahkan sudah sampai di tempat janjian kami satu jam lebih awal.

Wanitaku datang tepat pada waktunya. Ia masih sama seperti dulu, mempesona dengan badannya yang ramping. Bibir merah yang selalu membuatku ingin mencumbunya, masih sama sexynya seperti dulu.

Aku melambaikan tangan, memberi tanda tempatku berada. Ia duduk di depanku dengan wajah elegannya. Aku menjadi gugup sendiri melihat kecantikannya yang tak berkurang, bahkan semakin bertambah saja.

Jantungku seakan-akan sedang melompat kegirangan. Aku tersenyum padanya, kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakuku, ku letakkan di atas meja kemudian menggeser kotak itu ke arahnya.

"Would you marry me?" Ia tercengang, terdiam dengan mata melebar kaget menatap isi kotak yang ku buka. Air matanya mengucur dengan deras melewati kelopak matanya. Membentuk sungai kecil di pipinya yang terlihat lebih tirus dari terakhir kalinya kami bertemu.

Aku berdiri kemudian duduk di sampingnya, mengambil tangannya dan menggenggamnya hingga aku menyadari sesuatu. Sebuah cicin berhias berlian kecil yang cantik tampak mempercantik jari wanitaku.

Wanitaku masih menangis, ia mencengkram tanganku.

"Maaf, aku tak bisa." Tak ada kata yang bisa ku keluarkan. Aku kira acara lamaran mendadakku akan membuahkan kesuksesan. Melihat tak ada sebuah penolakan darinya di telepon tadi, membuatku mengira bahwa ia masih menungguku.

"Aku menyerah karena aku kira kau tak akan pernah mencintaiku. Maaf." Air matanya masih mengalir, sesekali ia sesenggukan menahan tangisnya yang tak mau berhenti.

Aku masih duduk di samping, masih tak tau harus bicara apa.

"Aku sudah cukup bahagia, suamiku selalu mencoba mengerti aku. Dan aku pun sedang mencoba mengerti dirinya."

Aku menggeleng, "Tapi kau tidak sepenuhnya bahagia bukan? Aku tau kau masih mencintaiku, dan maaf aku memang bodoh sehingga terlambat menyadari perasaanku yang sebenarnya. Aku juga mencintaimu sayang, aku sangat mencintaimu." Wanitaku melepas tanganya kemudian menutup mulutnya seraya menggelengkan kepalanya. "Aku akan membahagiakanmu, aku berjanji akan menyerahkan segala milikku padamu."

"Tidak, ini salah, aku memang masih mencintaimu, tapi aku tidak bisa mengkhianati kepercayaan suamiku. Terima kasih pada akhirnya kau membalas cintaku walaupun sangat terlambat untuk aku ketahui." Wanitaku berdiri kemudian berjalan meninggalkanku yang masih diam meratapi akhir kisah asmaraku.

Menyesal? Ya! Seharusnya aku sudah menemuinya sepuluh bulan yang lalu, dimana saat itu aku merasa frustasi karena merasa kehilangannya. Namun gengsi yang terlalu besar jistru membuat mala petaka di akhir ceritaku.

Beginilah jadinya, penyesalan memang selalu berada di akhir cerita. Memberikan seseorang pelajaran agar tidak kembali mengulangi kesalahan yang sama.

Hingga saat ini aku memang belum menemukan penggantinya. Namun bila riba saat aku mencintai lagi, aku tak akan melepaskannya, hingga kembali jatuh di lubang penyesalan.

FF[1] - JuneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang