Balapan lagi

67 44 4
                                    

Cahaya yang tadinya berwarna jingga kini mengalah demi gelapnya malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cahaya yang tadinya berwarna jingga kini mengalah demi gelapnya malam. Seorang laki-laki yang sedang terduduk di sofa balkon rumahnya. Matanya tertuju pada cahaya bulan yang begitu terang di antara gelapnya malam. Setelah mengantarkan Arunika, Sagara bergegas pulang walaupun di rumahnya sangat sepi. Mamanya bekerja di luar kota, sepertinya Wiliam menyusul Mamanya.

Sagara menghela napas panjang, kesepian selalu menyelimutinya setiap hari. Sagara mendongakkan kepalanya ke atas, ia menghela napas pelan. Pikirannya melayang entah kemana, tubuhnya terduduk tapi tidak dengan pikirannya.

“Bang, kira-kira gue bahagianya kapan ya?”

“Gue pengen sekali aja rasain di peluk mereka.”

“Bang, lo kenapa gak ajak Gue?”

“Rasanya lelah Bang. Gue harus pura-pura biasa aja, padahal gue mau banget cerita ke mereka.”

Ponsel Sagara berdering, ia tersadar dari lamunannya. Sagara mengambil ponselnya di saku celananya. Sagara menatap layar ponselnya tertera nama Varo—temannya Sagara.

“Ya kenapa?” tanya Sagara.

“Ada balapan lagi Gar. Ikut Gak?” balas Varo sambil berbalik tanya pada Sagara.

“Oke. Nanti gue ke tempat biasa,” ujar Sagara.

“Di tunggu,” balas Varo sambil memutuskan sambungan telponnya.

Sagara menghela napas pelan, ia beranjak dari duduknya dan melangkah ke dalam kamarnya. Malam ini Sagara akan mengikuti balapan seperti biasanya bersama Varo. Sebenarnya Sagara hanya mengikuti balapan saat dirinya kesepian dan emosi. Sagara melangkah masuk ke dalam, ia mengambil sebuah jaket yang tergantung di lemarinya.

Tiba-tiba kepalanya terasa sakit,  Sagara membeku merasakan sakit yang menjalar di kepalanya, penglihatannya sedikit buram. Sagara melangkah menuju laci lalu mengambil sebotol obat sakit kepala yang selalu ia sediakan. Sagara menelan pil obat itu, ia menghela napas berat. Sagara sedikit memijat pangkal hidungnya untuk meredakan sakitnya.

“Ck. Kenapa sih?” tanyanya heran.

Sagara menarik napas panjang lalu kembali berdiri dengan tegap. Ia melangkah keluar dari kamar lalu menuruni anak tangga. Sagara mengeluarkan motor sport miliknya dari bagasi, ia mulai menyalakan motornya. Sagara pergi dengan motor sport miliknya.

Pandangan Sagara menyusuri jalanan yang sudah sepi. Tak banyak kendaraan di sini, angin malam selalu menyapa wajah Sagara yang tertutup oleh helm full facenya, hanya tersisa sepasang mata khas miliknya.

Luka Kita Kala Itu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang