Chapter 1: Lorong Kesendirian

143 27 13
                                    

Anindita, atau yang biasa dipanggil Anin, adalah seorang remaja perempuan yang menghadapi kesendirian yang tak terduga di sekolah menengahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Anindita, atau yang biasa dipanggil Anin, adalah seorang remaja perempuan yang menghadapi kesendirian yang tak terduga di sekolah menengahnya. Setiap hari, dia berjalan melalui lorong-lorong yang sunyi, terpisah dari keramaian yang tampaknya tidak menyadari keberadaannya. Sementara teman-teman sekelasnya tertawa dan bercanda di antara mereka, Anin terus berusaha menarik diri, menjadi bayangan yang melintas tanpa disadari.

Dalam keheningan itu, Anin merasakan hampa dan kekosongan yang memenuhi jiwanya. Setiap malam, ketika dia terbaring sendirian di tempat tidurnya, perasaan itu semakin kuat. Tangisan yang tak terdengar, kesedihan yang tak terucapkan, dan rasa hampa yang memenuhi hatinya menjadi sahabat-sahabat setia yang menemaninya dalam kesendirian yang tak berkesudahan.

Anin merasa terjebak dalam dunianya sendiri, terasing dari koneksi sosial yang berarti. Tidak ada yang benar-benar mengenalnya atau menyadari apa yang dia rasakan di dalam hatinya. Dia bertanya-tanya apakah ada seseorang di luar sana yang dapat memahaminya, yang dapat melihat keberadaannya yang sebenarnya.

"Hidup seperti ini kayaknya lebih layak buat aku. Daripada menjadi sebuah sinar yang kemudian malah redup dan mati."

Ia berjalan menuju kantin dengan kekosongan. Tidak ada satupun yang duduk di sampingnya, di depannya. Tidak ada. Seolah-olah ia hanya angin di sana.

Suatu hari, ketika Anin berjalan sendirian di lorong sekolah, sebuah perubahan tak terduga terjadi dalam keheningan yang biasanya mengitarinya. Seorang laki-laki misterius muncul di dekatnya, seakan-akan datang dari suatu tempat yang tidak diketahui. Tatapan matanya yang penuh penasaran membuat Anin merasa diperhatikan, dan meskipun dia ragu, ada sesuatu yang menarik perhatiannya pada laki-laki itu.

Anin tidak yakin apa maksud laki-laki itu atau mengapa dia terus berada di dekatnya. Apakah dia datang untuk membuat senyuman di wajah Anin atau hanya karena penasaran? Pertanyaan-pertanyaan ini menggantung di udara, menambah kebingungan dan kekhawatiran di hati Anin.

Hingga hari itu, laki-laki itu duduk di depannya. Ia memberikan senyuman kepada Anin dengan begitu manis. "Boleh aku duduk di sini?"

Anin hanya menatap orang itu. Lalu kemudian ia pergi tanpa mengatakan sepatah katapun. Laki-laki itupun kebingungan. Hingga beberapa orang di sana mengatakan, "Dia itu cewek aneh. Gak pernah sekalipun dia ngomong. Harusnya dia masuk ke sekolah yang berkebutuhan khusus. Solanya dia bisu."

"Setuju!"

"Kok bisa ya dia masuk ke sekolah sini."

"Mungkin guru-guru kasian sama dia. Dia kan anak yatim piatu."

"Udah gak punya teman, gak punya keluarga lagi."

"Kasian banget ya."

"Dia memang berhak menanggung semua apa yang dilakukan sama orang tuanya."

"Anak tukang korupsi!"

"Pantes banget gak sih hidup kayak gitu."

"Anin yang malang. Haha."

Mereka semua tertawa terbahak-bahak. Tanpa merasa dosa sekalipun. Anin yang ternyata mendengarnya hanya bisa terdiam dan tidak mengatakan apapun. Ia sudah terbiasa melahap semua bullyian itu.

❀❀❀

"Air laut, begitu luas dan tak berujung, menyimpan segala luka yang terdalam.Gelombangnya menghempas, menghancurkan hati, seakan memanggil kesedihan untuk bergabung."

Sudah seperti kebiasaan Anin untuk merenung di pantai. Mendengarkan deruan ombak yang terus menerus hingga matahari telah berganti dengan sinar bulan.

Tanpa sadar Anin meneteskan air matanya lagi dan lagi. Mengingat semua kejadian yang telah menjadi masa lalu. Masa lalu yang menyedihkan.

Mengingat tentang di mana kedua orangtuanya yang pergi meninggalkannya begitu jauh. Dan tak pernah lagi di gapai. Lalu kemudian ia mendapati bahwa kedua orang tuanya korupsi yang mengakibatkan perusahaan orang tuanya hancur, dan lenyap begitu saja. Hanya menyisakan satu rumah untuk Anin berlindung dan biaya sekolah Anin hingga kuliah.

Tapi untuk makanan sehari-hari, ia harus bekerja part time di beberapa cafe. Walaupun gajinya tidak seberapa. Setidaknya ia bisa makan dan terus melanjutkan hidupnya.

Hidupnya terus-menerus seperti ini. Ia tumbuh dengan cara yang berbeda dari yang lain. Anak-anak SMA pada umumnya akan pergi bersenang-senang dengan teman-temannya sepulang sekolah lalu pulang dengan ibunya yang menunggunya untuk makan bersama-sama. Lalu Anin? Saat pulang sekolah ia harus bekerja lalu ia pulang atau paling tidak ia ke pantai untuk menenangkan pikirannya yang kacau.

Semenjak kejadian itu, wajahnya tidak pernah tersenyum sedikitpun. Ia merasa tidak ada satupun yang membuatnya tersenyum dan bahagia. Dan juga senyumannya tidak begitu orang-orang inginkan. Yang ingin mereka lihat adalah kesedihan Anin.

"Apa gunanya sih sekarang aku hidup? Apa hidup aku cuma untuk melihat kebahagiaan orang? Mengapa Tuhan itu gak adil? Kenapa orang tua aku yang korupsi, malah aku yang kena imbasnya? Mengapa aku yang di jauhin! Mengapa harus aku yang menanggung semuanya di sini!"

Anin berteriak histeris dan kemudian hanya bisa menangis. Ia menangis sambil memukul-mukul dadanya sendiri. Hatinya benar-benar sakit, pikirannya rasanya benar-benar kacau.

Senja selalu menjadi saksi ia mengeluarkan semua rasa sesal dan sakitnya. Tidak ada tujuan dalam hidupnya. Ia sesekali ingin bunuh diri. Tapi entah kenapa selalu tidak bisa. Ia ingin loncat ke laut lalu di bawa arus dan pergi dari dunia yang menurutnya kejam ini.

LonelinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang