Minggu berikutnya Mora siap bertemu dengan keluarga Barata. Sejak siang perempuan itu sudah dipaksa mamaknya ke salon untuk berias.
“Minimal kau harus tampil cantik di depan naeng simatua-mu.” Mamak berkata di sela kesibukannya memberikan instruksi pada petugas salon.
Mora hanya bisa mendesah panjang. Dia menatap pantulan dirinya di depan cermin. Sangat menyebalkan saat orang tuanya tiba-tiba menyuruh untuk bertemu dengan keluarga paribannya. Padahal Mora sudah punya rencana sendiri malam ini.
Barata setuju membantunya dengan berpura-pura menjadi pacar Mora. Setelah pertemuannya dengan keluarga Barata malam ini, esok ganti mereka akan bertemu dengan keluarga Siregar.
Lalu komplikasi terjadi. Bapa dan Opung tiba-tiba menyuruhnya untuk bertemu dengan sang pariban. Hanya bertemu saja, ucap Opung sembari menunggu cucunya membawa si hallet ke rumah. Mora bersyukur saat tahu restoran tempat pertemuan dengan sang pariban ternyata sama dengan lokasi Barata dan orang tuanya makan malam.
“Nanti kita atur strategi agar kamu bisa ketemuan sama paribanmu. Dan kamu juga bisa ada di meja kami.” Barata menenangkan saat Mora menelepon dengan panik memberitahukan perubahan rencana.
Kini perempuan itu sudah berada di halaman bangunan empat lantai bergaya Victoria modern. Fasad depannya berwarna krem lembut dengan lampu-lampu artifisial yang semakin mempertegas aura mewah dari restoran itu.
The Nottingham.
Sesuai namanya, menu yang disajikan memang berbasis Eropa. Nuansa negeri Ratu Elizabeth itu sudah memancar sejak pertama kali mereka memasuki lobi. Bapa dan Mamak berjalan lebih dulu di depan. Mora mengekor dengan langkah-langkah lambat.
“Cepatlah, Mora. Jangan biarkan naeng simatua-mu menunggu.”
Mora mendelik kesal. Ingin sekali dia mengoreksi perkataan orang tuanya. Bukan calon mertua. Bapa dan Mamaknya bahkan tahu persis Mora akan memperkenalkan pacarnya besok malam. Namun, apa daya. Dia memang tidak bisa banyak bicara karena panik dengan Barata yang terus menelepon sejak di mobil tadi.
“Jalanmu lambat kali, Mora. Perempuan Batak jangan loyo macam itu.” Bapak menegur.
Mora makin kesal. Apalagi gawai di tas tangannya terus bergetar sejak tadi. Barata pasti tengah mencari tahu posisinya saat ini.
“Aku lebih senang kau nikah sama pilihan Nantulang. Setidaknya sudah jelas silsilah dia. Cobalah kau pikirkan lagi keputusanmu setelah ketemu sama mereka.” Bapak bicara dengan nada pelan, tetapi penuh penekanan.
Mora bergeming. Mulutnya masih membisu. Dia terus berjalan sembari memindai seisi ruangan. Kini mereka ada di lantai empat, tempat ruangan privat berada.
Pelayan restoran membawa keluarga kecil itu ke satu pintu di paling ujung lorong. Mora makin panik karena belum menemukan Barata. Ruangan privat juga membuatnya terhantam rasa cemas karena jelas akan mempersulitnya untuk kabur ke tempat Barata.
Lalu pintu terbuka.
Percakapan dalam bahasa Batak yang sempat terdengar perlahan mereda. Aura ketegangan menggantung pekat di udara, setidaknya bagi Mora. Pandangan perempuan itu masih terhalang oleh badan Bapa dan Mamak. Telinganya menangkap suara ramah perkenalan sebelum tertegun dengan suara berat dan dalam yang familier di indra pendengarannya.
Mora perlahan mengintip dari balik punggung Mamak. Detik itu juga jantungnya nyaris copot dari tempat. Seruan keras Mora refleks terdengar tanpa bisa dicegah.
“Bang Bara? Ngapain kau di sini?”
~~oOo~~
Ale Tuhan, ada berapa Barata Harahap di dunia ini? Kenapa paribanku harus Bang Bara yang ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pariban in Action (TAMAT)
RomanceDua puluh dua tahun Mora Siregar hidup dalam pendiktean orang tuanya yang konservatif. Saat memiliki kesempatan kuliah di Jakarta, Mora memutuskan untuk menjauh permanen dari keluarganya. Namun, satu kejadian pelik membuat perempuan itu terpaksa pul...