1. this don't feel like home

1.1K 52 5
                                    

Junior High School

"Hai, aku Roseanne Park. Biasa dipanggil Rosie. Aku baru pindah dari Australia. Semoga kalian bisa menerimaku di sini." ujar Rosé memperkenalkan diri di hadapan kelas.

Hari pertama di sekolah baru membuat perut Rosé mual. Ia mencoba mengatur nafasnya bahkan setelah selesai memperkenalkan diri. Ia merasakan tatapan-tatapan semua orang tertuju padanya.

Setelah kepindahannya dari Melbourne karena pekerjaan ayahnya, Rosé menghabiskan minggu pertama di Chicago untuk beradaptasi dan menyelesaikan kepindahannya ke sekolah baru. Ayah Rosé—Mason Park—adalah seorang pengacara yang dipindah-tugaskan oleh law firm-nya ke Chicago. Seminggu berlalu dan ia sangat merindukan kampung halaman, terutama neneknya.

Meski tinggal cukup jauh, hampir setiap akhir pekan Rosé selalu merengek kepada orang tuanya untuk mengunjungi rumah neneknya yang berada sedikit di luar wilayah Melbourne. Neneknya tinggal di sebuah rumah sekaligus peternakan di mana Rosé senang menghabiskan waktu memberi makan hewan ternak dan memetik sayur maupun buah. Hal yang tidak akan dilakukannya lagi di Chicago.

"Oke, ada pertanyaan untuk Rosie?" sang guru wanita bertanya dengan antusias.

Seorang anak laki-laki mengangkat tangannya dengan cepat.

"Ya, Ben?" tanya gurunya.

Dengan nada mencibir, Ben bertanya. "Kenapa logatmu aneh? Dan kenapa kulitmu belang? Kau ini zebra ya?"

Semua anak kelas tertawa karena celotehan Ben. Cepat-cepat Rosé melipat kedua tangan di depan dada untuk menutupi garis belang di lengannya. Ia menunduk karena ia tahu ada sedikit garis sunburn di wajahnya. Hal itu karena terlalu sering terpapar sinar matahari bermain di peternakan neneknya.

"Ben!" guru wanita itu menyela. Ia melihat Rosé dengan tatapan iba dan sudah tentu tahu kalau anak perempuan itu merasa malu sekarang.

Dengan lembut, ibu guru menyuruh Rosé untuk duduk. Gadis itu berjalan menuju kursi kosong di sebelah seorang gadis berambut pirang. Tapi dengan cepat gadis itu menyimpan tasnya di kursi kosong tersebut.

"Maaf, sudah terisi." ujar gadis itu ketus.

Gemetar dan gugup, Rosé berjalan terus ke belakang kelas. Ia akhirnya menemukan sebuah kursi kosong di bagian paling belakang.

Saat jam makan siang adalah waktu paling horor bagi anak baru seperti Rosé—terlebih setelah insiden di kelas. Rosé sudah tahu anak-anak di kelas tidak menyukainya. Hal itu terbukti saat membagi kelompok projek sains, Rosé tidak diterima di kelompok manapun hingga gurunya yang harus menangani.

Begitu nampan makan siangnya sudah penuh, Rosé berjalan sambil mencari tempat di mana ia bisa duduk. Sejauh mata memandang, tidak ada tempat kosong baginya. Kecuali Rosé bersedia ikut duduk di tempat kelompok anak-anak yang tidak dikenalnya.

Tidak lama, Rosé menemukan tempat duduk di pojok kafetaria. Berjalan lebih cepat, Rosé menghampiri kursi panjang tersebut. Sialnya, saat hendak sampai, seseorang menahannya.

"Whoa, maaf sekali tapi kursi ini terisi." suara seorang anak laki-laki kepada Rosé.

Di belakang anak laki-laki itu terdapat mungkin lima sampai tujuh anak laki-laki lain. Beberapa di antaranya adalah teman sekelas Rosé tadi. Ia tidak menghitung dengan cermat karena laki-laki di hadapannya melihat Rosé dengan tatapan menghakimi.

"A-apa?" tanya Rosé berusaha tegas dan menyembunyikan rasa gugupnya. Ia tidak mau dirundung. Kali ini ia harus melawan.

"Kau si anak baru itu, ya? Zebra?" tanya anak laki-laki itu.

Ever You | chanrose (YOU SERIES BOOK 2) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang