SELAMAT PAGI, SIANG, SORE, MALAM, TENGAH MALAM, SUBUH.
MAKASIH MASIH BACA CERITA INI. MOHON DIKOREKSI BILA ADA PENULISAN YANG SALAH.
HAPPY READING
Ketiganya kini berkumpul di ruang tamu, suara yang dikeluarkan dari televisi membuat suasana rumah tidak begitu sepi karena tidak ada yang membuka pembicaraan di antara ketiganya.
Kepulan asap yang keluar dari mulut Riyan bertebaran di udara secara bebas. Dengan pakaian khas bapak-bapak, yaitu baju kaos yang dipadukan dengan sarung untuk bagian bawahnya. Pria itu tampak anteng di tempat duduknya menonton siaran televisi.
Sedangkan Nola mempersiapkan bahan-bahan yang akan digunakan besok di tokonya, tentunya dengan Sarga yang selalu membantunya.
"Sarga." Nola membuka pembicaraan.
Sarga mendongak, "Iya?"
Nola tampak berpikir, rasanya tidak enak menanyakan apa yang ada di benaknya sekarang, tapi ia sangat penasaran.
"Ibu, kenapa?" tanya Sarga.
"Kemarin ... Ibu nggak sengaja lihat luka di badan kamu." ucap Nola membuat Sarga dengan cepat mendekap dirinya sendiri.
"Maaf, Ibu nggak sengaja melihatnya. Kalau boleh tau, itu karena apa?" tanya Nola selembut mungkin.
Sarga semakin mendekap tubuhnya, perlahan ia menjauh dari Nola dan masuk ke dalam kamarnya.
"Ibu kenapa sih, tanyain itu?" kini Riyan yang menggantikan Sarga membantu Nola.
"Ibu penasaran aja, pengen tau, kenapa bisa badan dia banyak luka seperti itu." Nola menatap penuh cemas ke arah pintu kamar Sarga, wanita itu sangat cemas dengan orang yang berada di balik pintu kayu itu.
Riyan yang sadar akan reaksi cemas istrinya, mengelus pelan pundak Nola.
"Udah, nggak usah cemas. Kan, Ibu udah nanya, pasti nanti dijawab sama dia, kok.""Ya udah, Ibu bawa ini ke dapur dulu, ya." Nola menuju ke dapur, ia sempat melirik pintu kamar Sarga yang sepertinya tidak ingin dibuka oleh anak itu.
Lagi dan lagi, jendela yang menampilkan pemandangan malam di luar sana menjadi tempat favorit Sarga. Malam ini, awan-awan menyelimuti bulan di atas sana. Bintang-bintang yang biasanya bertaburan pun kini tidak nampak satupun.
"Mama." gumam Sarga.
"Sarga rindu mama ... " Anak itu menatap tinggi di atas sana. Tangannya terulur ke depan, beberapa detik kemudian, setetes air jatuh dan mengenai telapak tangannya.
"Kalau Sarga mau ikut, mama marah nggak, ya?" ucapnya menatap tetesan air yang jatuh semakin membasahi tangannya.
"Kalau Mama udah nggak ada nanti, kamu harus urus semuanya, ya?"
"Emang Mama mau ke mana? Terus apa yang mau diurus?"
"Kamu urus semua ini, rumah, perusahaan, semuanya."
Anak kecil itu menatap wajah Mamanya, "Sarga masih kecil, Mah. Mana ngerti yang begituan."
"Suatu saat nanti pasti kamu bisa, janji ya?" wanita itu mengelus pelan kepala anaknya.
Sepotong kenangan bersama mamanya kembali terputar di benak Sarga. Jadi ini maksudnya kalau dia akan pergi? Tapi kenapa harus seperti ini? Dan, rasanya tidak ada apa-apanya jika Sarga menjalankan semua itu tapi orang yang memintanya tidak ada di sisinya.
Ketukan pintu mengalihkan perhatiannya, Sarga menatap pintu kayu itu cukup lama. Ia melamun untuk beberapa saat lalu menuju ke arah pintu dan membukanya.
Nola tersenyum, "Ibu boleh masuk?" Sarga mengangguk lalu berpindah sedikit dari tempatnya, memberikan jarak agar Nola bisa leluasa masuk.
"Kok, jendelanya di buka? Nggak dingin? Lagi hujan, lho." Tangan wanita itu menutup jendela lalu berdiam cukup lama di hadapan benda mati itu.
"Maaf."
Nola berbalik, "Maaf kalau pertanyaan Ibu tadi bikin kamu nggak nyaman."
Sarga masih diam, tidak ada kata yang ingin ia sampaikan sebagai balasan. Tubuhnya hanya diam berdiri serta telinganya dengan setia menunggu kata apa lagi yang akan keluar dari mulut wanita itu.
"Ibu boleh peluk kamu?" tanya Nola. Wanita itu tersenyum sambil merentangkan kedua tangannya. Ia dengan setia menunggu anak yang ada di depannya mau melangkah dan membalas pelukannya.
Kaki Sarga bergerak sedikit demi sedikit. Begitu jarak antara dia dan Nola semakin dekat, ia langsung datang ke pelukan wanita itu. Nola merasa sangat senang karena Sarga mau dipeluk olehnya. Perasaan rindu bertahun-tahun kini mulai terobati dengan adanya Sarga.
Nola menangis dalam diam, namun reaksi tubuhnya tidak dapat menyembunyikan itu. Sarga tahu. Dan di ambang pintu kamar, kedua mata Riyan turut mengeluarkan air. Entah apakah ini hal yang baik atau tidak. Ia bahagia karena dengan keberadaan Sarga, mereka bisa merasakan kembali kehadiran seorang anak. Namun, jika suatu saat nanti ia pergi, apakah itu tidak akan meninggalkan rasa sakit yang lebih pada mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
SARGA
Genç KurguSarga berusaha merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya dari orang-orang licik yang merebutnya. Namun itu semua butuh bantuan serta dorongan dari orang lain. Namun dia di sini, berdiri, seorang diri. Apa ada yang bersedia membantunya?