Kemarin melalui telepon, Gumitir mengatakan untuk yang kesekian kalinya pada ibunya meminta untuk pindah sekolah. Mencari sekolah yang lebih baik setidaknya, Gumitir ingin sekolah di sekolah tempat anak-anak biasa berkumpul. Tidak ada anak orang kaya, tidak ada anak paling hits dan semuanya biasa saja, itu sekolah yang Gumitir inginkan. Jawaban yang Gumitir terima ialah tentu penolakan, sama seperti waktu-waktu yang lalu saat Gumitir ingin pindah sekolah, ibunya selalu mengatakan ia akan malu jika Gumitir bersekolah di sekolah yang biasa, murah dan tak terpandang. Gumitir kali ini tidak mau menyerah, ia bilang jika ia tidak nyaman bersekolah karena selalu dirundung teman-temannya, namun ibunya tidak mau menanggapi dan tidak mau memikirkan permasalahan remaja dan telepon pun langsung ditutup.
Malam itu Gumitir memeluk bantal, menangis lama sekali sampai ia tertidur dengan air mata yang terus mengalir. Suara-suara yang lembut itu kembali menghibur Gumitir dan menghantarkan Gumitir masuk ke dalam mimpinya. Di dalam mimpi Gumitir tidak perlu takut akan apapun, di dalam mimpi Gumitir bisa bertemu dengan ayahnya. Ingatan tentang masa lalu Gumitir terputar dalam mimpinya begitu saja, salah satu ingatan berharga yang Gumitir punya.
Saat itu Gumitir berumur empat tahun, ia berlarian dengan balon di tangannya dan ayahnya menyoraki dirinya di depan gang sana dengan senyum yang membuat Gumitir tidak memikirkan soal kekhawatiran apapun. "Ayo Gumitir!" ayahnya membuka lebar-lebar tangannya bersiap untuk menerima Gumitir dalam pelukan. Gumitir kecil semakin bersemangat berlari, balon angin yang dikaitkan dengan tali dan ditarik Gumitir bergerak naik turun di udara. Gumitir tertawa begitu ia sampai pada pelukan ayahnya "Ayah!" sorak Gumitir riang. Ayahnya mengangkat Gumitir tinggi-tinggi dan mereka tertawa riang.
"Gumitir, kamu membawa kehangatan dalam hidup ayah." Gumitir dan ayahnya duduk di kursi pinggir danau buatan dengan Gumitir yang tengah memakan es krim dengan sendok plastik bening.
"Kehangatan? Gumitir seperti selimut tetangga?" riang ayahnya seketika berhenti.
"Dari mana kau tahu kata itu?" selidik ayahnya.
"TV" ucap Gumitir polos, ayahnya mencoba untuk tidak menanggapi. Ia harus lebih memperhatikan apa yang dikonsumsi anaknya di TV.
"Yang Ayah maksudkan, kamu memberikan kehangatan bagi hidup ayah karena kehadiran kamu sangat berarti bagi hidup Ayah. Ayah tidak tahu lho kalau kamu tiba-tiba pergi bakal seperti apa hidup ayah, ayah mungkin kesepian" ayah Gumitir mengusap pelan kepala Gumitir kecil yang tengah menyendok es krim ke mulut mungilnya.
"Kan ada ibu" ucap Gumitir setelah menelan es krim.
"Iya sih, tapi Ayah tidak ingin kamu pergi"
"Gumitir tidak akan pergi Ayah" Gumitir mengusap pelan punggung ayahnya pelan seolah memberikan dorongan emosional dengan tangan kecilnya. Seperti yang dilakukan orang-orang di Tv itu.
"Suatu saat kamu akan besar, kamu akan menikah dan memiliki kehidupan kamu sendiri dan pergi begitu saja dari hidup Ayah" ayahnya pura-pura memasang wajah sedih.
Gumitir bangkit dari kursinya dan memegang wajah ayahnya lalu mendekatkan keningnya dengan kening ayahnya lalu menggelengkan pelan kepalanya sehingga kedua kening yang bertemu itu dengan pelan bergesekan seperti ayahnya yang selalu melakukannya ketika hendak tidur "Ayah jangan khawatir, Gumitir tidak pernah meninggalkan Ayah. Gumitir tidak pernah mau meninggalkan Ayah. Ayah adalah orang yang paling Gumitir sayangi, Gumitir sayang yah" lalu kening ayahnya Gumitir kecup pelan, persis ritual yang dilakukan ayahnya ketika menghantar Gumitir tidur.
Pandangan Gumitir memutih, bangku mulai lenyap, pepohonan, danau bahkan dirinya dan ayahnya perlahan mulai lenyap. Mimpinya berakhir, Gumitir berbisik entah pada siapa "tapi ayah yang meninggalkan Gumitir" lalu Gumitir membuka mata, lalu sadar itu semua hanya mimpi. Ia mengusap matanya yang basah, duduk di tepian kasurnya dan menenangkan perasaannya. Gumitir membuka lemari persediaan camilan yang ada di kamarnya, kosong. Dia menyeret tubuhnya yang masih lemas dan mengantuk ke rak novel, hendak memilih novel dan sayang sekali semua novel di rak bukunya sudah ia baca. Camilan kosong, persediaan novelnya sudah ia baca semua, ini mimpi buruk.
Gumitir mencuci muka dan masih dengan baju tidurnya turun untuk makan, mungkin ibunya sekarang sudah entah ke mana atau mungkin sedari kemarin dia tidak pulang. Gumitir menuruni tangga— kabar buruk, ibunya sedang sarapan di meja makan. Ia hendak kembali ke kamarnya namun tatapan tajam ibunya lebih dulu menangkapnya. Gumitir kalau sudah begini mau tidak mau ia harus bergabung di meja makan, ia menarik napas untuk mempersiapkan dirinya. Mungkin kata-kata 'penyemangat' sudah disiapkan ibunya hari ini.
"Anak perawan kok jam segini baru bangun?" ucap ibunya datar, Gumitir hanya menyendok nasi goreng dengan tanpa nafsu makan (sebuah keajaiban) dan mengambil dua telur ceplok "dari hentakan hebat di tangga, Ibu tahu kalau kamu yang datang, jangan berpikir tubuh kamu seringan kapas" kembali ibunya mengatakan datar sembari menyendok nasi goreng ke mulutnya "kamu tidak tahu adab atau bagaimana? Ada orang tua di depan kamu, kamu hanya diam seolah Ibu tidak ada" kini penekanan disertakan dalam tiap kata yang Ibu Gumitir keluarkan.
"Lebih tidak adab mana sama perempuan yang berganti pasangan tiap bulan?" Gumitir tidak menyangka kata itu keluar dari mulutnya, dia tahu dia kesal dengan ibunya namun kata itu tidak seharusnya keluar dari mulut Gumitir, wajah Gumitir pucat dia ingin menarik kembali kata-kata itu atau dia akan kena masalah— segelas air putih membanjiri wajah Gumitir, ibunya menatapnya dengan marah.
"Lancang kamu ya! Kamu tidak perlu ikut campur dalam urusan ibu! Ibu sudah muak punya anak tidak berguna, tidak bisa membanggakan, terus menyendiri di kamar dan tidak melakukan apa-apa! Ibu muak menjadi bahan gunjingan orang-orang tentang kamu! Memang kamu itu seperti Ayah kamu yang tidak berguna, pengecut, tidak bisa bergaul dan bodoh!" Gumitir refleks bangun dari kursi ketika ayahnya disebut-sebut, ia menatap wajah ibunya dengan kesal "berani kamu sama Ibu?" satu tamparan mendarat ke pipi Gumitir "kamu harus sadar diri, selama ini kamu hidup dari siapa? Siapa yang membiayai semua hal dalam hidup kamu? Kamu dilahirkan telanjang! Tidak memiliki apapun, bahkan tiap senti dari pertumbuhan kamu itu semua karena Ibu!" rambut Gumitir ditarik, bibir Gumitir bergetar, wajahnya menahan kesakitan sementara air matanya mulai mengalir "anak cengeng!" lalu wajah Gumitir didorong sampai hidungnya menempel nasi goreng di piringnya yang masih hangat dan beberapa kali ibunya mendorong kepalanya sehingga beberapa butir nasi goreng masuk melalui hidungnya "anak tidak tahu diri!" Lalu telepon berdering dan ibunya langsung mengangkatnya, segera ibunya pergi menuju garasi mobil dan bersiap pergi mengurus urusannya.
Mobil Ibu Gumitir meluncur ke jalanan, meninggalkan Gumitir yang menangis dalam diam dan terus tertunduk di meja makan yang kini perlahan menyeret tubuhnya dan naik ke kamarnya, membanting pintu kamarnya dan memeluk guling di kasurnya. Kembali ia menangis, semua perkataan ibunya begitu menusuk hatinya, dan bayangan itu kembali mengisi pikiran dan hatinya yang semakin membuat sesak di dada. Bayangan mengenai kehidupannya yang lebih baik, bayangan Ibu yang masih mencintai dirinya, lalu bayangan ayahnya dengan riang tawa mencoba menghibur dirinya saat dia jatuh dari sepeda saat ia berumur lima tahun. Semua bayangan indah itu beradu dengan kenyataan yang dihadapinya, perlakuan ibunya. Hal itu mengiris hatinya, begitu sesak di dadanya hingga ia menarik-narik bajunya berusaha mengeluarkan sesuatu dari dalam dadanya karena merasa sudah tidak kuat dan sesak. Dia menangis menjambak rambutnya sendiri dan memukul-mukul kepala dengan tangannya.
Sadar dirinya sudah terlalu larut ke dalam semua emosi sedihnya, ia memutuskan untuk membaringkan tubuhnya dan perlahan menenangkan perasaannya. Dia mengambil ponsel, berusaha mengalihkan perasaannya dan mencari sesuatu yang semoga bisa dapat menghiburnya. Gumitir membuka sosial media, membuka akun-akun sosial media yang menyuguhkan video dan foto-foto yang menurutnya lucu. Lalu dia tertawa mendapati video dari orang yang begitu konyol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cirebon dan Pohon Balas Dendam (TAMAT)
RomanceSUDAH TAMAT Satu hari di Kota Cirebon, tumbuh pohon misterius yang dapat tumbuh tinggi sampai mencakar langit dan kala malam dedaunan pohon menyemburkan cahaya kuning yang indah dan menenangkan. Di sisi lain, Gumitir adalah gadis yang selalu dirun...