Mora terbelalak. Ingin sekali rasanya dia mencubit ginjal Barata. Sudah seenaknya main tuduh, sekarang malah mau mengambil lagi uang yang sudah sah jadi milik Mora.
“Enak saja!” Perempuan Mandailing itu menolak keras. “Bang Bara sudah kasih itu uang ke aku. Gimana ceritanya aku harus balikin duit itu?”
“Karena semua rencana nggak ada yang berjalan dengan benar.” Barata berkata dingin. Tangannya memutar roda kemudi. Satu kedai kopi yang buka dua puluh empat jam terlewati oleh mereka. Kini kendaraan roda empat itu mulai memasuki Jalan Jamin Ginting. Sebentar lagi tiba di rumah keluarga Mora.
“Perjanjian kita otomatis batal karena tidak ada yang berjalan sesuai rencana.” Barata kembali bicara.
“Tak bisa gitu dong, Bang. Aku kan, sudah melaksanakan kewajiban.” Mora senewen. Dia berasal dari keluarga yang tidak kekurangan uang. Lima puluh juta bukan angka yang sulit untuknya.
Namun, uang pemberian Barata adalah hasil kerja kerasnya, bukan pemberian orang tua. Sensasi mendapatkan uang sendiri sangat berbeda dibanding kala menerima transferan dari Bapa.
“Kewajibanmu adalah membuatku terbebas dari perjodohan sialan ini. Tapi semuanya gagal karena kamu ternyata paribanku.” Barata masih berkata dengan nada datar.
Menyebalkan!
Mora ingin sekali meluapkan kekesalannya. Seharusnya dia ajukan perjanjian hitam di atas putih. Jadi, tak bakal begini kejadiannya di belakang hari. Lagi pula, semua ini di luar kuasa dirinya. Mana dia tahu kalau Barata Harahap adalah pariban yang dijodohkan dengannya?
“Jangan-jangan kamu emang udah rencanakan ini semua.”
Kepala Mora menoleh sangat cepat. Rasa panas menjalar dari leher hingga seluruh kepala. Bibir yang menipis dan tangan mengepal kencang di pangkuan adalah isyarat jelas betapa emosi Mora sudah menggelegak hingga ubun-ubun.
“Kamu mengaku sebagai Damanik dari Simalungun. Kamu juga berpura-pura sebagai pegawai kafe kepadaku. Ini pasti udah kamu sengaja kan, karena tahu aku adalah orang yang dijodohin denganmu?”
Mora terperangah. Kemarahannya terpantik cepat. Kepala perempuan itu sudah pusing dengan sakitnya ompung, juga permintaan konyol Bapa. Sekarang Barata datang dan menambah ruwet suasana.
Mora sangat lelah.
Alih-alih menjawab, dia melepas sabuk pengaman dan bergegas keluar mobil. Tak dipedulikannya panggilan Barata yang memecah keheningan malam.
“Mora, berhenti! Jawab dulu pertanyaanku!”
Langkah perempuan itu terhenti di anak tangga terbawah rumahnya. Dia menoleh sekadar cukup untuk dilihat Barata.
“Besok sajalah kita ngobrol. Capek aku. Buat uangmu, sorry saja. Tak minat balikin aku, Bang.”
~~oOo~~
Barata terus uring-uringan, bahkan sampai esok hari. Namun, dia harus menahan emosi karena Papi dan Mami mengajak membesuk Ompung di rumah sakit.
Kamar inap VIP itu dengan cepat berubah ramai setelah kedatangan keluarga Harahap. Papi yang sudah lama tidak pulang ke Medan sangat senang dengan cerita perkebunan kopi Ompung di Madina. Bahkan Papi, Bapa, dan Ompung dengan cepat menjadi trio sahabat lantas membuat rencana untuk berkunjung ke kedai kopi selepas Ompung keluar rumah sakit.
Sementara Mamak dan Mami sibuk membicarakan patobang hata. Dua wanita itu menelisik berbagai detail. Tak ada seorang pun yang menyadari bila Barata mencolek Mora dan memberinya isyarat keluar kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pariban in Action (TAMAT)
RomanceDua puluh dua tahun Mora Siregar hidup dalam pendiktean orang tuanya yang konservatif. Saat memiliki kesempatan kuliah di Jakarta, Mora memutuskan untuk menjauh permanen dari keluarganya. Namun, satu kejadian pelik membuat perempuan itu terpaksa pul...