13 || Kebingungan

43 6 0
                                    

MASA-masa menguras tenaga telah usai. Sedikitnya pelanggan yang berkunjung memperingankan tugas-tugas kafe. Terlebih lagi, waktu untuk pulang dipercepat oleh manajer baru tersebut.

"Megan kelihatan dekat banget sama manajer lama," ucap Kai pada Megan di saat meletakkan sapu pada sudut ruangan.

"Gue dekat sama Sherly, kenapa nggak lo omongin juga?" balas Megan yang hendak keluar dari ruang istirahat pegawai, sedangkan aku mendengar percakapan mereka dengan duduk di sofa panjang.

"Nggak begitu juga, sih." Kai tampak jengkel dengan respons didapatkannya.

Sebenarnya, kami semua masih menetap karena menunggu karyawan lainnya yang tengah mematikan semua lampu sebelum meninggalkan kafe.

"Theo cuma manajer sementara," celetuk Sherly yang berdiri di depan pintu. Rupanya, itulah nama atasanku selama ini.

"Aneh, manajer kok gonta-ganti," sambung seorang pria yang tidak diketahui identitasnya karena berada di luar.

"Saya dengar itu, loh." Muncul tanpa aba-aba, Manajer telah berdiri di sebelah Vin yang tengah memainkan ponselnya. "Saya nggak seramah Theo, jadi jangan macam-macam," ucapnya dengan senyum mengerikan.

Para manusia yang di depan pintu langsung menghilangkan diri, sedangkan aku tertawa kecil dalam menonton tingkah laku konyol tersebut.

"Padahal cuma bercanda." Manajer mulai menengok ke arahku dan berkacak pinggang. "Di bar ini, saya cuma kenal Ashley. Jadi, kayaknya sulit bergaul dengan kalian."

Sayangnya, aku tidak mengenal atau bertemu sekali pun, maka karena itu kuberikan sekadar senyuman sebagai tanggapan. Sementara itu, Vin menunjukkan layar ponselnya pada Manajer, memberi kesan bahwa mereka begitu akrab tanpa memikirkan batas pekerjaan.

Setelah sekian lama, bar dikosongkan dan kegelapan membuat kami semua angkat kaki secara bersamaan. Aku merasa ada hal yang terlupakan, tetapi tidak memikirkannya lebih lama dan terus melangkah untuk pulang. Dalam perjalanan, angin meniup dengan kuat, sedangkan cuaca bulan ini adalah musim panas. Aku melangkah di jalur pejalan kaki dengan iringan suara-suara kendaraan yang lewat.

"Awas!"

Seseorang telah menangkapku dengan erat dari belakang dan muncul sebuah suara keras dari benda yang membentur punggungnya. Mataku reflek terpejam karena terkejut, lalu perlahan terbuka dan otomatis memandang ke bawah dalam mendapatkan banyaknya tanah bertebaran.

"Untung saja," ucap pria itu sembari melepaskanku dari dekapan dengan napas leganya. "Kamu nggak pa-pa?"

Tidak tahu harus bereskpresi apa setelah menoleh dan memandangi wajah berkulit pucat yang menatapku sedikit pasi. Lagi-lagi pria yang mengenakan jaket abu-abu dan sudah menolongku untuk ke sekian kalinya. Apakah di kehidupan ini, dia tidak jahat padaku?

"Nggak, aku nggak pa—"

"Lain kali hati-hati," selanya ketika hendak melangkah pergi sembari mengibas-ngibas punggung menggunakan tangan kanan.

Ucapan terima kasih belum kuberikan, sedangkan dia sudah pergi begitu saja dan hilang di antara keramaian. Rasanya, aku seperti dikuntit karena kemunculannya selalu pada waktu-waktu yang tepat, yakni ditolong atau cocok untuk dicelakai. Kami pasti saling mengenal, karena mustahil dia sering menolongku atau berniat menyakitiku seperti dahulu tanpa sebuah alasan.

Kepala pun mendongak dan memandangi toko bunga di depanku. Terdapat barisan tanaman hias pinggiran balkon lantai kedua. Napas lega spontan terembuskan. Seandainya kepalaku mengenai besarnya salah satu pot, bisa jadi penyakit gegar otak akan menghampiri. Bahkan, bisa lebih fatal daripada itu.

Deja Vu [ Ashley Lincate ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang