Bab 2

61 5 0
                                    

PLAK!

Suara tamparan mengejutkanku saat melihat murid dengan bandana merah itu menampar pipi Arshea. Belum lagi jika ia menghadapi ayahnya yang dalam keadaan mabuk itu nanti malam, pipinya kurasa akan hancur. Ada apa dengan anak murid necis itu?

"Ternyata kau sama saja dengan anak dungu temanmu itu, ya? Kalau sudah tau tugasmu membelikan aku sarapan tiap pagi ya harus dilakukan dong!" kata murid bandana merah itu dengan ngotot, matanya melotot dengan alis yang menukik tajam.

"Tapi, kau bahkan tak memberikan aku uang untuk itu, bagaimana aku bisa membelinya?" jawab Arshea yang dengan nada gemetar menjawab sekenanya.

Iya, bagaimana Arshea membelinya kalau kau tak memberinya uang?! Kau pikir uang turun dari langit?! ujarku dalam batin, ikut kesal.

"Kau itu bodoh atau bagaimana sih? ya pakai uangmu, lah! Kau itu pelayanku sekarang, menggantikan si dungu itu. Bukannya kau yang meminta untuk menggantikannya kemarin? Itu berarti kau harus menuruti aturannya!" kata si murid bandana merah.

Aku merasa geram mendengarnya, sedangkan Arshea hanya menunduk diam. Cakar-cakarku serasa gatal ingin menggarong wajah si murid berbandana merah.

Aku pernah berada di posisinya, memberikan jatah makananku pada sekelompok anjing. Kami diintimidasi dan dilukai jika kami tak memberikannya. Kurasa anak murid berbandana itu ibarat anjingnya, dan Arshea kucingnya.

Aku benar-benar tidak tahan melihatnya saat anak murid berbandana merah itu mengancam sambil menjambak rambut Arshea lalu melemparnya ke tanah hingga tersungkur. Kini aku tahu kenapa Arshea nampak kacau setiap ia pulang.

Aku mengumpulkan kesabaranku. Aku menyaksikan hari-hari Arshea dirundung. Di perlakukan seperti hewan yang disuruh menjilat kaki mereka. Setiap malam selalu saja ada luka baru, bahkan luka yang diplester juga ikut terluka lagi.

Aku tak begitu paham tentang emosi manusia, ataupun sisi yang menyangkut perasaan manusia. Aku hanya dapat membaca emosi lewat raut wajah mereka saja. Saat mereka senang, sedih, marah atau kesal. Semua itu terbaca lewat air mukanya.

Hari-hari yang menyedihkan dilewati Arshea dengan tegar. Yang jadi pertanyaanku adalah, mengapa tak ada siapapun yang membantunya? Setidaknya di kalangan manusia ada sesuatu yang seperti itu 'kan?

Oh, dan satu lagi. Arshea mempunyai pekerjaan paruh waktu setiap ia pulang sekolah. Pantas saja ia selalu pulang lewat dari jam tujuh dan harus bertemu dengan ayahnya yang kadang-kadang menggila dan main tangan. Aku menunggunya didepan minimarket tempat ia bekerja. Menyisihkan sisa-sia tenaganya untuk melayani pelanggan. Peluhnya berceceran, berkilauan diterpa terangnya lampu neon yang menyala di setiap sudut. Saking terangnya, bahkan aku berpikir mereka menjual matahari didalamnya.

Beberapa hari ini aku selalu mengikutinya tanpa ketahuan. Aku melihat bagaimana ia diperlakukan setiap hari oleh para anjing itu. Bagaimana ia menghabiskan sisa malamnya sebelum pulang kerumah. Arshea bekerja dengan teguh walau sebenarnya ia rapuh didalamnya.

Aku berusaha sampai di rumah sebelum ia pulang, ia selalu mengulas senyum kecil sambil memberiku makan malam. Mengelus lembut buluku lalu membersihkan diri dan bersiap untuk tidur. Dan lagi-lagi, aku mendengar ia menangis tiap tengah malam.

Sampai pada suatu pagi, yang mana aku tidak tahu ternyata Arshea bertekad untuk mengakhiri hidupnya. Kala itu seperti biasa, aku mengikutinya sepanjang hari sampai akhirnya ia bekerja paruh waktu. Namun, aku melihat Arshea berjalan ke etalase dimana banyak obat dan racun untuk serangga dipajang berjejer. Aku tak berpikir bahwa dirumah kami banyak serangga, aku masih menyimaknya baik-baik.

Arshea membolak-balikkan beberapa kaleng dengan bergumam. Sesekali kulihat ia sesunggukan seperti sedang menangis. Lalu ia mengambil sebuah kaleng dan membayarnya di kasir. Kaleng tersebut lalu di masukkannya ke dalam tas.

Aku masih tidak tahu kenapa Arshea membeli obat serangga tersebut, mungkin ada serangga yang mengganggu di rumah. Penasaran, aku pulang lebih awal. Memeriksa apakah ada banyak serangga di rumah kami. Namun setelah kuputari setiap ruangan, tak begitu banyak aku temukan. Hanya beberapa kecoak dan seekor tikus. Tentu saja tikusnya sudah kumakan karena itu makanan yang setiap hari kumakan saat hidup di jalanan.

Harusnya obat serangga itu tak diperlukan, kan?

Akhirnya, setelah lama aku menunggu, Arshea pulang. Wajahnya lebih bersinar, dengan wajah yang masih terlihat habis menangis. Ada apa dengannya?

Arshea lalu menghampiriku, menggendongku di pundaknya. Ia memelukku sangat erat, sesekali ia mencium wajahku walau aku tak begitu menyukai ciuman. Ia tak berbicara, hanya terus memelukku erat.

"Kau harus banyak makan, ya? Jangan sampai kau jadi kurus," katanya padaku. Aku hanya bisa menjawabnya dengan mengeong.

Ia lalu menurunkan aku, memberiku makan malam yang begitu banyak. Lebih banyak dari sebelumnya. Ia membawa tasnya, dan masuk kedalam kamar mandi. Kenapa ia membawa tas yang ada sebuah kaleng obat serangga didalamnya?

Aku menunggu diluar kamar mandi, duduk dan sesekali berbaring. Lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit, Arshea tak kunjung keluar. Aku melihat jam, sudah tiga puluh menit! Arshea tak pernah mandi selama ini. Apa sesuatu terjadi padanya didalam sana?

Aku mengeong sambil mencakar kamar mandi, berharap bisa membukanya. Namun cakar ini bahkan tak cukup untuk sekedar mencakar karena pintu kamar mandi bukanlah terbuat dari sesuatu yang berpori.

Aku terus mengeong, kali ini lebih kencang. Aku berputar, mencari keberadaan sang ayah. Syukurlah, ia tertidur. Tapi ini bukan saatnya pria itu tertidur. Aku melompat, mengeluskan tubuhku di wajahnya. Membuatnya menggeliat. Aku mengeong dan mencolek wajahnya dengan cakar kecilku.

Pria itu lalu bangun dan nampak kesal. Tapi aku tak peduli. Aku terus mengeong dihadapannya.

"Arshea! Kenapa kucingmu ada dikamar Ayah?! Ayah sudah bilang untuk terus menjaga kucingmu tetap dikamarmu sendiri!" teriaknya kemudian.

Kuharap cara ini berhasil.

Tak ada jawaban selagi aku terus mengeong. Sang ayah lalu berdiri dan berjalan menuju kamar Arshea. Aku membututinya dari belakang untuk melihat apa yang terjadi. Pria itu membuka pintu kamar yang sedikit terbuka, ia tak melihat Arshea. Aku berjalan kedepan kamar mandi, memberikan sinyal 'Arshea ada didalam sini!'.

Pria itu lalu menuju kamar mandi, mengetuknya beberapa kali namun tak ada sahutan. Si ayah yang penasaran lalu mendobrak pintu. Alangkah terkejutnya ia, melihat Arshea sudah tergeletak dilantai dengan mulut berbusa. Di tangannya, sebuah kaleng yang kulihat meneteskan cairan.

Arshea bunuh diri. Betapa terpukulnya aku. Beberapa saat yang lalu ia memelukku dengan sangat erat, aku tak tahu kalau itu adalah sebuah perpisahan.

Sang ayah lalu membawa Arshea ke rumah sakit, sedangkan aku menyusup kedalam ambulan yang membawa Arshea.

Pria itu nampak sangat khawatir, aku baru kali ini melihatnya begitu cemas. Ia bolak-balik di ruang unit gawat darurat. Sementara aku, aku hanya bisa melihatnya dari bawah kursi. Tentu saja hewan tak diperbolehkan masuk, dan sebisa mungkin aku tidak ketahuan oleh siapapun. Termasuk para petugas medis di rumah sakit ini.

Seorang berpakaian dokter keluar, wajahnya tak begitu senang.

"Maaf, Tuan. Kami sudah berusaha sebaik mungkin, tetapi putri Tuan tak bisa diselamatkan. Racun yang ia minum sudah menyerang organ vitalnya sehingga kami sulit untuk mencegah penyebarannya."

Tangisan sang ayah pun pecah, ia terduduk lemas sambil meremas kepalanya sendiri. Arshea, majikanku, kini sudah tidak ada lagi. Apa itu artinya aku harus kembali ke jalanan? Hidup memperebutkan makanan yang sangat sulit dicari itu? Aku tak tahu. Aku terlalu takut untuk kembali dan mengulang semuanya. 

-Bersambung-

P.S : Jika kalian menyukai bab ini, silahkan tekan VOTE atau komen jika ada kesalahan penulisan. Author bakal berusaha memperbaikinya...

Author masih newbie, btw~ hehe

Arigatou Gozaimasu~!

Suddenly I've Become My MasterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang