10 | Sampai Dunia Kiamat

132 33 3
                                    

Rasanya Barata sangat ingin mencekik leher Mora.

Satu lirikan tajam membunuh dihadiahkannya pada perempuan yang kini resmi menyandang status calon istrinya itu. Gara-gara mulut sembrono Mora, sekarang empat orang tua plus Ompung akan mengira bila mereka benar-benar berpacaran dan tak sabar menunggu segera diresmikan.

“Bagus itu. Bagus. Aku suka dengan keputusan kau, Mora.” Ompung mengangguk-angguk tanpa repot-repot menyembunyikan kebahagiaan. Di tengah sakit karena susah napas akibat kondisi jantung yang masih memburuk, kesediaan Mora untuk segera menikah bagai oase di tengah kesedihan.

“Kalau begitu, segera kita pikirkan konsep pernikahannya. Harus yang megah karena Mora adalah boru kita satu-satunya.” Bapa menimpali.

Percakapan dengan cepat berganti pada persiapan pernikahan. Disepakati prosesi patobang hata akan dilaksanakan minggu depan karena Barata masih harus bekerja di Jakarta dan Mora pun masih harus menyelesaikan kuliah. Sementara pasangan calon pengantin mengurus aktivitas mereka, empat orang tua akan mempersiapkan pernikahan yang disepakati bakal dihelat di Medan.

“Kamu beneran minta dibunuh, Mor?” desis Barata saat mendapat kesempatan bicara dengan Mora.

“Sudah kubilang susah buat batalin pernikahan ini. Mau kau kalau Ompung aku kena serangan jantung lagi terus is dead?” tanya Mora balik.

Barata mengertakkan rahang. Dengan kondisi seperti sekarang, susah untuknya bermanuver. Bila nekat mengoreksi perkataan Mora, bisa-bisa dirinya yang akan dibantai oleh orang tua Harahap dan Siregar.

“Keluarkan bulang keluarga kita. Sekarang Mora layak memakainya,” ucap Ompung mendistraksi percakapan penuh semangat antara Mamak dan Mami.

Keheningan tiba-tiba menghampiri. Senyum di wajah Mamak sangat palsu. Ada sorot sedih terbaca di sepasang mata indahnya.

Hati Mora pun terenyuh. Bulang keluarga Siregar terbuat dari emas asli yang diwariskan turun-temurun ke tiap generasi. Setiap pengantin wanita Siregar pasti akan memakai perhiasan itu di hari bahagianya.

Namun, bulang itu tak pernah keluar sejak Ompung Sahat menikah. Pasalnya istri dari Ompung bukan wanita Mandailing.

Memang tidak ada syarat bulang itu harus dipakai oleh pengantin satu suku. Namun, seolah ada syarat tidak tertulis bila perhiasan sakral keluarga yang asli hanya boleh dikenakan oleh pengantin berdarah Mandailing, Mamak dan istri Ompung yang sama-sama berasal dari suku lain terpaksa harus puas mengenakan bulang tiruan bersepuh emas.

Mami melirik calon besannya. Ditepuk-tepuknya lembut punggung tangan wanita itu memberi semangat karena tahu sejarah kehidupan Mamak. “Tak apa-apa, Eda. Mora adalah parmaen kita. Baik Mora, baik juga kau. Urusan bulang jangan diambil hati.”

Mamak akhirnya tersenyum, meski sangat tipis. Dengan cepat dia mengalihkan topik pembicaraan ke busana pengantin yang akan dikenakan Mora dan Barata. Percakapan kini berganti membahas pattani yang akan dibeli baru dan harus berasal dari kualitas terbaik.

Hingga delapan hari ke depan, Barata dan keluarganya masih berada di Medan. Setelah Ompung Sahat keluar dari rumah sakit, dan patobang hata dilaksanakan, barulah Barata dan keluarganya kembali ke Jakarta. Termasuk Mora yang berangkat hanya berselisih dua hari dari calon suaminya.

~~oOo~~

“Sudah kubilang, ko orang ngeyel terus.” Dito tak kuasa menahan tawa setelah bertemu dengan Mora di Jakarta.

Sepekan setelah kembalinya Mora ke Jakarta, sang sepupu datang ke Lunar Book Cafe. Dia menyesal karena tak bisa menghadiri lamaran Mora. Namun, lebih dari itu, penyesalan yang tak tulus itu terbaca jelas oleh si perempuan Mandailing.

Pariban in Action (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang