21. ᴅɪ ᴀᴛᴀꜱ ʙᴜᴋɪᴛ

2 0 0
                                    

"Mimpiku membawa harapan untuk terbang ke langit, namun kenyataan menarikku untuk jatuh ke laut"

Pelajaran bahasa mengharuskan kami untuk pergi ke perpustakaan, merangkum materi tentang sejarah yang ada di dalam buku setebal telapak tanganku.

Apakah di setiap negara buku bahasa selalu tebal?

Jika sudah selesai guru memperbolehkan kami untuk istirahat atau membaca buku di perpustakaan ini, tidak boleh keluar sebelum jam belajar selesai.

Sebagai anak yang rajin belajar dan gemar membaca, aku dapat menyelesaikan tugas itu dengan cepat. Bukannya aku sombong, hanya berkata sesuai kenyataan.

Aku duduk di sebuah meja bundar yang berada jauh di belakang perpustakaan, berusaha mencari ketenangan. Peraturan untuk tidak berisik di perpustakaan sepertinya tidak berlaku lagi sebab ada lima belas orang yang berada di ruangan ini.

Sebuah buku bersampul coklat tua yang terbuat dari kulit telah menarik perhatian ku, bukan karna judulnya, tapi karena isinya. Buku sastra bahasa yang menampilkan deretan kata-kata puitis dengan tema tertentu, menurutku itu cukup menarik untuk seorang gadis yang ingin merasakan kehidupan di jaman dahulu.

Ssbuah pergerakan membuatku sedikit terganggu, aku tidak menyadari ada seseorang yang sedang duduk di meja persegi berukuran kecil di pojok perpustakaan. Jay, apa yang dia lakukan dengan selembar kertas dan sebuah pena?

Sepertinya dia sudah selesai dengan tugas nya sebab tidak ada lagi buku tebal yang mendominasi pelajaran bahasa hari ini. Lantas apa yang dia lakukan?

Menyadari ada yang memperhatikan, lelaki itu mendongak menatapku sekilas kemudian kembali menunduk fokus pada selembar kertas itu. Buru-buru aku menutup muka dengan buku yang ada di genggamanku, aku ketahuan!

•••

"Tentu saja, dia tidak masalah" Atlas berucap menjawab pertanyaanku yang mengatakan 'apakah pak supir mau menjemput kita dengan jadwal yang tidak sesuai?'

Aku diam tak merespon. Atlas kembali mengajakku bersepeda setelah kejadian waktu lalu di mana hujan datang tidak sesuai dugaan, aku tidak tau tempat apa yang ingin dia datangi dengan sepedanya, hanya duduk di kursi belakang sepeda sambil sesekali mencengkram ujung baju nya sebab jalan yang berbatu.

Jalanan yang kami lewati tidak lagi di suguhkan dengan sawah, melainkan beberapa rumah yang jaraknya sedikit renggang. Mungkin ini daerah pemukiman para penduduk.

Sepedanya membawa kami sampai di jalanan yang lumayan sepi, maksudku tidak ada lagi rumah-rumah yang berjejer, hanya ada pepohonan dan semak-semak. Jalan sedikit menanjak, perlahan kayuhan sepedapun semakin terasa berat. Memang bukan aku yang mengayuh, namun dapatku lihat dari gerakan kaki Atlas yang tampak lebih kuat memutar kayuhannya.

"Kita ke bukit?" aku hampir terjatuh karna kurang seimbang yang mengharuskan satu tanganku memegang pundak nya, sebenarnya jalanan ini tidak terlalu menanjak, tapi tetap saja dalam keadaan miring.

Atlas hanya mengangguk merespon, ia terus memperhatikan pemandangan sekitar yang dominan di hiasi dengan pepohonan hijau rindang.

Lelaki itu menghentikan sepedanya, aku turun setelah dirasa ini tempat yang di maksud anak itu. Bukit ini tidak terlalu jurang tidak juga terlalu rendah, sekitar kami di hiasi rerumputan luas serta bunga-bunga kecil yang berbeda jenis yang tumbuh secara liar namun tetap terlihat indah.

Atlas mengajakku untuk duduk di tepi tebing, awalnya aku menolak dengan alasan 'nanti jatuh' dan semacamnya. Namun pada akhirnya aku mengangguk dan menuruti permintaannya.

Hal ini mengingatkan ku ketika duduk di jendela kamar yang berada di lantai dua, namun yang membedakan adalah tebing di bukit ini yang lebih tinggi.

Biarpun lantai dua, tapi rumahku tidak terlalu tinggi. Bisa di bilang minimalis.

Aku mengeluarkan sebuah benda berkabel dan benda berbentuk pipih dari dalam tas selempangku. Kemudian ku sumpalkan earphone itu ke telinga kananku dan satunya lagi pada telinga kiri Atlas, dia sempat menoleh dengan alis berkerut di dahinya. Aku tersenyum menaggapi.

Sore itu, kami larut dalam keterdiaman. Menikmati alunan musik dengan intonasi tenang di sertai hembusan angin sepoi-sepoi di atas bukit, menunggu matahari terbenam tapi rasanya tidak mungkin karna jika di tunggu akan semakin sore dan kami akan ketinggalan bus.

Tapi sepertinya kami akan tetap bisa menikmatinya, tapi tidak di bukit ini, melainkan di dalam bus.

"Lusa malam akan ada gerhana bulan" ucap Atlas memecah keheningan, aku menoleh, seingatku tidak ada pemberitahuan di internet bahwa nanti malam akan terjadi gerhana bulan. Anak ini bercanda?

"Kamu tidak sedang berbohongkan?" aku menaikkan sebelah alis dengan wajah datar menatap mata galaksi itu yang membuatku terus mengalihkan pandangan ketika netra kami saling bertemu.

"Untuk apa aku berbohong,"

"Semua sudah tercatat dalam buku milikku, di tahun ini ada beberapa peristiwa yang tidak akan di lewatkan bagi para pecinta astronomi" lanjutnya.

"Kamu memprediksikan itu sendiri atau mengetahuinya dari beberapa sumber?" anak itu sepertinya sangat tertarik dengan hal-hal berbau luar angkasa, sampai dengan sangat niat untuk membuat jadwal kapan peristiwa itu terjadi. Atau.. Sebenarnya ia tak tertarik akan luar angkasa, penyebabnya mendalami astronomi hanya karna ingin satu frekuensi dengan ku?

Tidak, tidak. Itu tidak mungkin, mengingat ia yang sangat faham tentang blackhole waktu itu. Tentang rumah pohonnya yang dominan di hiasi dengan nuansa luar angkasa. Dan jaketnya yang terdapat hiasan planet dan bintang.

Dan itu semua sudah ia miliki sebelum kenal dengan ku bukan?

Jadi, kau Azura. Tidak boleh berpikir seolah Atlas melakukan semua itu hanya karena dirimu.

Azura 🏞️

Universe SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang