TUBUH terasa berat dengan kegelapan yang menyelimuti, dan seketika teringatlah terakhir kalinya aku kehilangan kesadaran. Secercah cahaya mengintip, membuatku tersentak kaget dan sontak terduduk dari posisi terlentang. Napas pun memburu di sela pemandangan dinding coklat dengan kilapan yang indah.
"Sudah bangun?"
Mata membeliak setelah tersapa oleh pria berkacamata yang tengah duduk di lantai sembari memainkan ponsel. Meja bundar teralaskan karpet putih yang berada di hadapannya. Di atasnya terdapat tas kainku, secangkir kopi, bersama satu benda yang menghasilkan rasa terkejut, yakni buku harianku. Seharusnya, aku tidak membawanya hanya karena tersempitkan oleh waktu keberangkatan kuliah.
"Aku di mana?" tanyaku lirih dan sedikit panik, seraya menatap diri sendiri yang masih berpakaian utuh seperti sebelumnya.
"Ini apartemenku." Kurt mendongak dengan sekilas senyuman, sehingga terlihat sebuah rona merah di area bawah matanya. Sudah pasti dia menghabiskan malam dengan membaca seluruh buku harian tersebut, sampai-sampai terlarut dalam kesedihan atas pahitnya fakta yang telah ditelannya.
Lantas, apakah aku dalam situasi berbahaya sebagai wanita yang tadinya menulis buku tersebut?
Kurt berdiri dan mengusap bagian belakang lehernya menggunakan satu tangan. "Mau sarapan apa?"
Spontan aku melirik ke beberapa arah sampai menemukan jam dinding dengan jarum yang menunjukkan angka tujuh. Aku pandangi sekitaran yang hanya memiliki satu ruangan dan kamar mandi. Dapur kecil, tempat tidur, lemari dan segala perabotan tidaklah terpisahkan oleh dinding seperti unit apartemenku.
Selimut kulepaskan dan menurunkan kaki hingga menyentuh lantai. "Kenapa aku di sini?"
Di saat hendak berdiri, rasanya tidak ada tenaga sehingga membuatku terkulai lemas. Sebelum tersungkur, Kurt dengan sigap menghampiri dan menangkap antara kedua bahuku menggunakan satu lengannya.
"Jangan bergerak untuk beberapa saat," katanya dalam membantuku duduk di atas kasur. "Biar aku ambilkan makanan, tenagamu terkuras habis."
Dia berbalik badan untuk pergi ke dapur terbuka di sudut ruangan dan aku bertanya, "Apa ini gara-gara pukulanmu tadi?"
"Ah, ya, maaf perihal itu," ucapnya dan aku hanya bisa memandangi punggungnya yang lebar dalam kaus hitam. "Jangan tanya kenapa." Dia berjalan mendekat dan membawakan sepiring omelette bersama satu gelas air putih.
Diletakkannya makanan tersebut pada meja nakas dekatku, lalu dia menarik kursi beroda dari sudut ruangan untuk duduk di dekatku. Sesendok telur berisikan nasi goreng disodorkan, beserta mulutnya yang terbuka kecil bertanda menyuapiku.
Dahiku refleks mengerut akibat merasakan hal yang pernah terlihat sama seperti sebelumnya. Seketika teringat kejadian yang di mana segalanya menjadi abu-abu ketika aku berada pada bar bersama Kurt untuk membuat mimosa. Lantas, apakah semua itu bisa disimpulkan sebagai penglihatan masa depanku?
"Ashley," panggil Kurt yang mengacaukan isi pikiranku tadi. "Makanlah beberapa suap."
Jika memakannya dapat membuatku bergerak, aku pun menurut dan melahapnya ragu-ragu. Satu suapan telah kuterima dan jujur saja rasa masakannya sungguh lezat.
"Aku ingin pulang," kataku setelah isi mulut terkosongkan.
Perkataanku membuat Kurt tertegun. Tidak etis dua orang berbeda gender di dalam satu ruangan, terlebih lagi aku sedikit paranoid setelah dijadikan pingsan olehnya.
"Nanti aku antarkan." Terlihat urat yang menonjol pada lehernya, seolah tidak ikhlas dalam melontarkan kalimat.
"Maaf, karena membuatmu membaca itu." Mataku tersorotkan ke arah buku harian, menghasilkan keheningan sejenak di antara kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deja Vu [ Ashley Lincate ]
Misteri / ThrillerAshley Lincate, wanita yang menghadapi hilangnya ingatan dan terjebak dalam siklus kematian melalui pembunuhan. Namun, dirinya berhasil bangkit ke realitas yang berbeda dari kehidupan sebelumnya. Entah itu dari segi pekerjaan, karakteristik, termasu...