"Seperti takdir. Tempatnya tidak berpindah, dan tidak pernah salah."
Rumah No. 15
Sukhumvit 31Pukul 19.10
"Kau memang tak mau cerita apa yang terjadi sebenarnya padaku?," Tanya Pond, saat Joong mengangkat panggilan darinya beberapa saat lalu.
"Apa yang harus aku ceritakan, hm?," respon Joong. Pria itu sedang memoles lukisannya. "Tak ada hal penting yang terjadi."
"Tak ada hal penting? Ayolah, Joong. Manusia mana yang meninggalkan pekerjaan tanpa alasan apapun? Bosan? Kau tak mungkin bosan. Studio itu milikmu. Kau sangat mencintai tempat itu. Kau tak mungkin meninggalkannya begitu saja.,"
"Ruko itu, seisinya, dari lantai satu sampai lantai tiga, semua milik Si Pong, ingat.," Joong menegakkan badan, kuasnya ditaruh. Tangannya menyeret gumpalan kain penuh bercak cat minyak, mengelap bersih tangannya, lalu mengangkat ponsel ke telinga. "Laki - laki brengsek itu bisa mengambilnya kapan saja. Aku . . Aku hanya punya rumahku, Pond. Aku tak punya apa - apa.,"
Pond menghela nafas. "Jadi, kau bertengkar dengan si pemilik gedung?,"
"Kenapa kau menyimpulkannya begitu? Tidak. Aku memang tidak suka orang modelan dia. Aku juga memutuskan untuk tidak datang lagi ke sana.,"
"Begitu? Jadi, bukan kau yang menutup kafenya?,"
Joong mengernyit heran. "Kafenya tutup?,"
"Ya. Beberapa hari yang lalu, Gemini, adikku, berniat mengunjungiku ke sana dan menemukan kafe itu tutup. Hari itu hari aktif, jadi agak aneh jika tutup.,"
"Tapi, Ibu tak memberitahuku apapun soal ini. Kupikir semua baik - baik saja.,"
"Sepulang kelas tadi siang, aku datang ke sana. Dan memang tutup, seperti kata Gemini. Pun kelihatannya tidak dibuka sejak Tian bilang kafenya tutup.,"
Joong diam lama. Ia berpikir panjang. Kalau Gemini saja mau berkunjung ke sana, maka kemungkinan tak ada masalah dengan pelanggan. Di sana tak ada Joong dan Pond. Harusnya jadi lebih ringan karena upah bagian mereka tidak perlu dibagikan. Lantas apa yang jadi masalah? Apakah masa sewanya tidak bisa lebih panjang lagi?
Mungkin. Terakhir kali ibunya bilang mereka nunggak enam bulan. Bisa jadi, kesabaran Si Pong sudah mencapai limit dan terpaksa tutup. Kalau begitu, harusnya ibu pulang ke rumah. Tapi tak ada yang terjadi. Bahkan ibunya juga tidak menghubunginya. Seolah-olah ia tak ada kaitannya sama sekali.
Ada kemungkinan lain. Bisa jadi, kafe itu sengaja ditutup. Joong tau Si Pong naksir Ibunya. Selama ini Si Pong hanya bisa bertemu dengan ibunya setidaknya sebulan dua kali, karena ada Joong. Sekarang Joong tidak ada di sana. Si Pong bisa kapan saja datang dan melakukan apa saja. Mungkin tidak betah gimmick di depan pelanggan, Si Pong mengambil alih kembali gedung itu, dan keduanya menjalin hubungan secara mendalam di tempat lain. Rumah Si Pong contohnya. Setelah menutup kafe, ibunya tak perlu khawatir soal bayar sewa atau cari nafkah. Ada Si Pong yang menanggung itu untuknya sebagai laki-laki. Mungkin mereka sudah kawin lari. Dan tinggal dengan damai di tempat lain.
Tentu saja mereka tak perlu mengabari Joong. Ia bahkan tak diinginkan oleh ibunya sendiri. Untuk apa mengharapkan pendapatnya. Yang ada itu mungkin akan sangat mengganggu mereka.
Joong tersenyum simpul. Ia paham betul apa yang terjadi.
"Joong.," Panggil Pond, Joong buyar dari pikirannya. "Apa yang terjadi antara kau dan ibumu? Ada sesuatu yang salah?,"
KAMU SEDANG MEMBACA
HOLD ME TIGHT a joongdunk alternative universe
Fiksi PenggemarDunk tidak pernah berniat kembali ke Bangkok setelah ia tinggal dengan nyaman di Cambridge. Ia punya flat yang sudah lunas, pekerjaan yang menyenangkan, aman, tenteram, dan teman baik yang akrab. Namun pada pukul tiga pagi di hari Jum'at, keputusan...