Shera benar-benar membuktikan ucapannya. Sepulang sekolah, dia mengajak Kalea untuk pergi ke rumahnya. Dengan antusias yang begitu tinggi, dia mengajak perempuan itu untuk berjalan ke halaman belakang karena hadiah yang dia siapkan ada di sana. Dia yakin, Kalea akan senang dengan hasil kerja kerasnya yang satu itu.
Sesampainya di sana, Kalea memandang sekitarnya dengan bingung. Dia kira, Shera akan mendesain halaman belakang rumah ini seperti orang yang akan mengadakan acara ulang tahun. Namun kenyataannya, tidak ada apa-apa.
"Mana hadiah buat gue?" Kalea bertanya, meminta hadiahnya dengan tangan menengadah.
Bukannya menjawab, Shera justru menunjuk ke atas hingga membuat Kalea semakin bingung. Meskipun begitu, dia tetap mengikuti arah tunjuk Shera yang mengarah pada pohon mangga yang besar.
"Ayunan?" tanya Kalea seraya menatap ayunan yang berada di atas mereka. Karena rasa penasarannya yang tinggi, kedua kakinya segera melangkah menuju tali yang mudah digapai. Shera juga mengikutinya dari belakang.
Sesudah meraih tali tersebut, Kalea menarik kedua kedua ujung bibirnya membentuk senyuman. Angin sepoi-sepoi menyapu lembut wajahnya ketika menaiki ayunan hasil tangan Shera. Kedua matanya tidak berhenti memandangi ayunan itu. Meskipun sederhana, tapi Shera membuatnya dengan begitu kuat sehingga nyaman dan aman untuk dipakai.
"Gue mau berhenti berobat, Lea," celetuk Shera setelah mengerahkan semua keberaniannya untuk mengatakan ini kepada Kalea.
Beberapa detik setelah Shera mengatakan itu, Kalea masih mematung di tempat, berusaha mencerna ucapan perempuan itu. Kepalan tangannya mulai mengendur, bersamaan dengan matanya yang mulai memanas. Dia memandang perempuan itu kecewa. Ada perasaan sakit luar biasa saat Shera mengucapkan kalimat yang selama satu tahun ini dia takutkan.
"Nggak mungkin, sih. Nggak mungkin, sialan! Lo gila atau gimana, hah?!" Kalea menatap Shera dengan tatapan penuh amarah. Kedua matanya menatap nyalang ke arah perempuan itu. Napasnya terdengar tak beraturan karena emosi yang memuncak dalam dirinya. "Lo nggak mau bareng Keenan lagi?"
Shera memilih untuk menghadap ke bawah daripada harus menatap sorot penuh amarah yang terpatri di kedua mata kelam milik Kalea.
"NGGAK USAH ANEH-ANEH! IKUT GUE SEKARANG!"
Kalea bangkit dari duduknya. Tangannya berusaha untuk menarik Shera agar ikut bersamanya. Namun, perempuan itu sama sekali tidak bergerak. Shera hanya diam saja dengan pandangan kosong.
"Lea," panggil begitu pelan. "Udah, ya?"
Kalea menggeleng kuat. "AYO!"
Tarikan yang Kalea ciptakan itu perlahan mulai mengundur saat melihat Shera mulai mengeluarkan air mata meratapi nasib yang harus seperti ini. Pundak perempuan itu bergetar hebat. Shera menangis tanpa suara. Jika seorang perempuan sampai mengeluarkan air mata, itu berarti rasa sakitnya sudah sangat luar biasa.
"Ini... beneran udah capek, Lea. Gue beneran mau berhenti mulai hari ini. Bosen. Sakit. Semuanya bikin gue capek."
Hening mengudara. Kalea yang sempat emosi kini terdiam tanpa kata. Bibirnya terkunci. Lidahnya kelu. Sepertinya, kata semangat sudah membosankan untuk Shera.
Hanya ada kehampatan dalam hati mereka.
"Izinin gue, Lea. Bertahan selama ini, rasanya sakit." Shera nyaris tidak bersuara. Kedua matanya semakin memburam hingga membuatnya kesulitan untuk melihat.
"Apa yang gue inginkan, sebentar lagi juga tercapai. Keenan pulang ke Indonesia, nilai ujian bagus, Kakak gue baikan sama Mama Papa, dan gue? Gue selesai dengan semuanya.
Kalea memilih untuk tetap bergeming dan membiarkan Shera mengeluarkan apa yang ada di dalam pikiran dan hatinya.
"Boleh, ya?" Shera memohon dengan tatapan sendu yang begitu sayu. Tidak ada lagi binar mata di sana. Tidak ada lagi sorot kebahagiaan yang tercipta di mata coklat terang itu. Shera yang sekarang sangat berbeda dengan dulu. Tidak ada lagi senyum manis yang tercipta di wajahnya.
Meski sesak dan penuh rasa tidak rela, Kalea tetap mengangguk tanpa sudi menatap wajah sahabatnya itu lagi. Dia tidak punya pilihan lain. Membuat Shera untuk bertahan lebih lama akan membuat perempuan itu semakin tersiksa.
"Pengobatannya berhenti, tapi diganti sama ginjal gue aja gimana?"
Shera menyuruh perempuan itu kembali duduk. Sebelum melanjutkan kembali pembicaraan mereka, dia memilih untuk memberikan jeda. Tawaran dari Kalea tidak mungkin juga dia terima. Lagian siapa juga yang ingin mengulang rasa sakit dua kali?
"Nggak asa bedanya. Gue butuh ketenangan, bukan waktu untuk hidup lebih lama." Shera tersenyum simpul. Dia mengusap matanya yang basah dan memerah. "Nggak apa, gue yakin lo bisa."
"Pundaknya diperkuat lagi. Kalau emang gue duluan yang pergi, jangan berlarut-larut waktu kehilangan. Sedih, marah, kecewa juga boleh. Tapi jangan sampai berantakan." Shera bernapas dengan lega kemudian mengayungkan ayunannya dan menjadikan kakinya sebagai tumpuan.
"Di masa depan nanti, ada hal-hal keren yang nungguin lo, Lea. Tenaga gue udah habis di waktu muda. Jadi, gue cukup lihatin Lo dari atas aja. Manusia keren yang punya andil besar di hidup gue ini masih punya jalan yang panjang."
Kalea pasrah dengan keadaan itu ikut mengayungkan ayunannya di samping Shera. Terangnya sinar matahari membuat kedua matanya menyipit. Untuk saat ini, dia masih berusaha untuk menelaah setiap ucapan yang Shera lontarkan.
"Jangan takut sendirian, hati-hati, ya Kalea."
ㅤㅤㅤ ㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤ *****
Shera berdiri di depan mading sekolahan dengan senyum yang mengembang sempurna. Perasaan membuncah kian menyelimuti hatinya saat melihat namanya terpampang jelas di deretan siswa peraih nilai ujian tertinggi. Berada di posisi kelima di antara orang-orang pintar tentu membuatnya merasa terharu sampai tidak menghiraukan keriuhan yang terjadi di sekitarnya. Usahanya yang mati-matian untuk belajar ternyata tidak sia-sia. Semuanya membuahkan hasil yang memuaskan, sesuai dengan apa yang dirinya idam-idamkan.
"Keenan pasti seneng liat ini," gumam Shera. Raut wajahnya terlihat sangat berseri-seri. Hal itu cukup menjelaskan betapa senangnya perasaannya saat ini.
Selain namanya yang berada di deretan siswi berprestasi itu, ada juga nama Kalea yang mendapat posisi lebih tinggi darinya. Sahabatnya itu sangat mengagumkan. Selama ujian di selenggarakan, mereka saling memberikan support satu sama lain.
Tidak lama kemudian, senyum manis di bibir Shera perlahan memudar ketika ingatannya melayang pada satu hal. Ini adalah hari kelulusannya, ia berharap, ada notif telepon maupun pesan dari kekasihnya, Keenan yang selama setahun ini tidak pernah membalas satu pun pesannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity Lovein Of Shera [Telah Terbit]
Dla nastolatków"𝐎𝐛𝐚𝐭 𝐢𝐭𝐮 𝐰𝐚𝐤𝐭𝐮, 𝐛𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐨𝐬𝐨𝐤 𝐭𝐨𝐤𝐨𝐡 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐚𝐫𝐮." 𝓢𝓻𝓲 𝓗𝓪𝓻𝓯𝓲𝓪𝓷𝓲 - 𝓘𝓷𝓯𝓲𝓷𝓲𝓽𝔂 𝓛𝓸𝓿𝓮𝓲𝓷 𝓞𝓯 𝓢𝓱𝓮𝓻𝓪 *** "Shera, bersatu atau tidak nya kita, kamu akan tetap menjadi tokoh utama yang tidak pernah...