11 | Pelukan Pertama

140 37 9
                                    

Barata membaca cermat dokumen yang terpampang di hadapannya. Mata gelap lelaki itu bergerak pelan sebelum akhirnya mendongak dan bicara dengan nada tegas.

"Oke. ACC. Segera buat promosinya. Aku mau apartemen ini dipasarkan hingga seluruh Indonesia."

Dua anggota tim pemasaran Petaland mengembuskan napas lega. Tak sia-sia mereka lembur hingga tiga hari lamanya merencanakan materi promosi untuk proyek apartemen di Surabaya. 

Selepas dua orang itu pergi, ganti sekretaris Barata masuk. Wanita berparas khas Sunda dengan badan ramping terbalut setelan ketat menghampiri Barata. Dari cara jalannya saja sudah terlihat sekretaris itu ingin menarik perhatian Barata.

Aksi yang sama yang juga ditunjukkan oleh hampir semua pegawai wanita lajang di kantor ini. Bos nomor satu mereka memang high quality jomlo yang harus diperebutkan. Apalagi sikap dingin Barata membuat persaingan itu kian ketat.

"Makan siang sudah saya siapkan, Pak. Ada restoran baru dekat sini. Reservasi sudah saya lakukan untuk–"

"Batalkan," perintah Barata dingin.

Senyum sekretaris pudar. Sorot matanya bertanya-tanya. "Maaf, Pak? Tapi Bapak tidak ada janji siang ini."

"Ada." Barata berkata singkat. Dia berdiri, sigap menyambar jas, dan berjalan begitu saja melewati sekretarisnya. "Makan siang dengan Mamiku di restoran Padang langganan. Kamu pergi saja sama yang lain."

Sekretaris menatap kepergian bosnya dengan hati dongkol. Gagal sudah rencananya untuk makan siang bersama bos. Selama ini memang sekretaris dan asisten pribadi Barata sering bergantian menemani lelaki itu makan siang.

Sementara itu, Barata memacu kendaraan sekencang jalan raya ibukota mengizinkan. Tak ada kemacetan berarti, tetapi situasi padat merayap membuatnya tak bisa cepat sampai ke tujuan.

Kali ini arah Barata tertuju ke arah Setiabudi. Tepatnya di kompleks apartemen Mega Kuningan. Layaknya penghuni lama di sana, Barata melenggang masuk berbekal sekeping kartu magnetik yang dimiliki oleh tiap penghuni.

Sayangnya kartu itu bukan milik Barata. Sayangnya lagi unit hunian di lantai tiga puluh tujuh itu juga bukan milik Barata. Semuanya bukan milik lelaki itu, melainkan milik seorang perempuan bernama Natalie.

Perlahan Barata menguak daun pintu. Aroma lavender menyambutnya bak salam selamat datang. Di foyer tergantung satu potret besar seorang perempuan berwajah oriental. Kecantikannya serupa dengan aktris asal Uyghur yang sedang naik daun.

Barata berhenti sejenak di depan potret itu. Dia tahu masih ada foto-foto yang lain di dalam sana. Namun, yang satu ini berbeda. Paras ayunya menguar begitu kuat seolah menarik mata tiap orang untuk jatuh dalam pesonanya.

"Apa kabarmu, Sayang?" tanya Barata lembut. Sorot matanya sarat kerinduan. Ujung jarinya menyentuh lembut permukaan potret yang terlapisi kaca bening. Dingin.

Sedingin perasaannya saat ini.

"Aku rindu kamu," ucap Barata lirih. "Tunggu aku sebentar lagi, Sayang. Kita akan segera berkumpul bersama. Jangan khawatir. Kamu nggak akan sendirian lagi."

Barata masih ingin bermonolog dengan potret cantik itu. Namun, dering keras gawainya membuyarkan segala kesyahduan hati lelaki itu. Setengah mengumpat keras, Barata langsung menerima panggilan telepon tanpa melihat caller ID.

"Halo," sapanya ketus.

Detik berikutnya kerut di kening Barata memudar. Bola mata lelaki itu membulat besar. Bergegas dia keluar apartemen dan bicara cepat di telepon.

"Sekarang gimana keadaannya? Baik. Aku ke sana secepatnya."

Barata memasukkan gawai ke saku jas dan segera keluar apartemen. Pikirannya terpecah. Sosok cantik Natalie sejenak tersingkirkan dari benaknya, berganti dengan kabar Mami yang mengalami kecelakaan.

Pariban in Action (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang