BAB 2

28.5K 1.6K 11
                                    

Mengapa seorang penjahat dianggap pantas menderita?
Padahal, penjahat juga manusia.

***

"Lo punya rencana apa lagi sih?!" Selin menatap curiga Lily yang saat ini dengan antengnya mengepel lantai toilet.

Selin heran saja, gadis arogan seperti Lily, biasanya memanfaatkan kondisinya sebagai anak donatur tertinggi di sekolah untuk menghindari hukuman. Tapi kali ini, Lily pasrah dihukum bersamanya. Aneh kan?

Lily memutar bola matanya malas, ia tidak menjawab pertanyaan Selin. Saat ini, ia hanya ingin menyelesaikan hukumannya dan pergi ke perpustakaan untuk mencari sesuatu.

"Sialan!" Umpat Selin sambil melanjutkan hukumannya dengan ogah-ogahan. Tiba-Tiba terbersit ide yang bagus di otaknya.

Selin menyeringai, "Eh,Trilili. Lo kenal Abian gak?"

Lily tidak menjawab.

"Elah, kampret lo. Gue nanya-nanya baik-baik ini." Kesal Selin.

"Gue tahu, kenapa emang?!" Jawab Lily ketus.

"Tadi kata dia, mau ketemu lo di rooftop."

"Lah, ngapain ketua kelas nyuruh gue ke rooftop?" Lily mengernyit bingung.

Selin mengedikkan bahunya, tanda tak tahu.

"Bohong lo ya." Tanya Lily sambil menatap curiga ke arah Selin.

Selin memutar bola matanya malas, "Terserah lo aja sih. Gue cuma nyampein amanah doang."

Lily hanya menghela napas, ia masih bertanya-tanya alasan kenapa ketua kelas yang bahkan tidak pernah ia ajak bicara tiba-tiba ingin bertemu dengannya, di rooftop pula.

Ahh...

Lily ingat. Dulu ia pernah berurusan dengan si ketua kelas karena Lily salah mengambil earphone yang kebetulan earphone mereka berdua sangat mirip, dan untuk menghindari desas desus yang tidak diinginkan makanya Abian ingin bertemu di rooftop.

Tapi kenapa sekarang di rooftop? Dulu di taman.

Apa Lily sudah merubah takdir?

***

Lily mengedarkan pandangan mencari sosok yang memintanya untuk datang, dengan earphone yang sudah di genggamnya.

"Mana si ketua kelas ya?"

Klik...

Suara pintu yang terkunci terdengar jelas.

Lily berbalik dan segera memutar kenop pintu, tapi tidak bisa terbuka. Ia menggedor-gedor sambil tetap berusaha memutar kenop pintu.

"Bukain woi! Buka..."

"Anjir! gue dikunciin."

Lily mengepal erat kedua tangannya. Sialan si Selin, dia dikerjain.

"Arghhh!!! Kampret bener si Selinjing!"

Lily berterik sambil menghentakkan kaki kesal, sesekali ia meninju udara saking kesalnya.

Gadis itupun menghela napas dan akhirnya bersandar di pintu. Menatap lurus kearah gedung-gedung pencakar langit yang terlihat jelas dari gedung sekolah ini.

Semilir angin yang menyapu halus wajah Lily dapat memberikan sensasi ketenangan bagi gadis itu. Ia berjalan perlahan mendekati pembatas gedung, menerawang jauh kedepan ketika mengingat kembali kehidupan sebelumnya.

Apakah ia bisa merubah takdir?

Apakah ia bisa bertahan dan menjadi lebih baik?

Bagaimana jika takdirnya tidak bisa diubah?

MEMORIA (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang