... Hari-Hari Kebelakang

549 124 28
                                    




Jasad Pangeran Ketiga Ditemukan Tak Berbentuk

Lakalantas yang melibatkan tiga mobil di daerah Tol Jakarta – Cikampek Km. 64 mengakibatkan 3 orang luka-luka dan 2 orang tewas. Korps Lalu Lintas (Korlantas) POLRI masih menyelidiki TKP dan menduga bahwa kecelakaan beruntun ini diakibatkan oleh black spot, "Mereka menabrak satu sama lain setelah masing-masing melewati blackspot," ujar Korlantas Polri Brigjen Aan Suhandoyo dalam keterangannya, Minggu (16/4). Satu korban tewas yang telah teridentifikasi juga merupakan Pangeran Ketiga dari satu-satunya kerajaan yang masih berdiri di Indonesia. Saat ini, pihak keraton masih mempersiapkan prosesi pemakaman setelah jasad diterbangkan ke Yogyakarta melalui Bandara Halim Perdanakusuma.


Bom itu dijatuhkan. Dan tanpa sempat untuk berlindung, Bathara memilih menerima serangan itu telak. Tanpa menangis, ia mengambil satu set pakaian yang telah lama tak ia gunakan, pakaian yang nyatanya masih pas membalut tubuhnya. Setelan hitam itu tak pernah ia sentuh setelah kepergian Ibu beberapa tahun yang lalu, ia kenakan lagi hari ini.

    "Semuanya sudah siap, Den. Bapak menunggu di bawah..." Simbok melihat dari ujung pintu yang terbuka setengah, "Bapak buru-buru pulang dari Solo setelah dengar berita itu, Den, dan kembali ke Bangsal Kasatriyan begitu beritanya tersebar."

    Bathara meraba bagian kancing bajunya yang hilang, "Mbok, masih bawa alat jahit Ibuk yang biasa?" Bathara linglung, tubuhnya bisa kapan saja limbung. Ia terus menyentuh ujung kulit di ujung jari-jarinya, hingga satu persatu kulit ari berganti dengan darah yang muncul.

    "Ada apa, Den?" Simbok mendekat, "Aden bisa pakai baju yang lain, Den. Masih ada banyak di bawah, atau mau Simbok jahitkan untuk Aden kali ini?"

    "Nggak, Mbok, cuma kancing ini yang tanggal," Bathara membuka kedua tangannya, "lebih cepat kalau Bathara sendiri yang menjahit. Simbok bilang Bapak sudah menunggu di bawah."  Simbok melakukan seperti apa yang Bathara mau, ia mengambil kotak hitam beludru yang memang sengaja dibawa dari kediaman mereka, dengan terdiam, Simbok mengangsurkan kotak itu ke pangkuan Bathara.

    "Aw–" satu jarum mengenai ujung jari milik Bathara.

    "Aduh, Den—" Ketika bola mata Simbok bertemu dengan Bathara, yang satu-satunya Bathara lakukan adalah merintih. Satu-persatu air matanya turun, berbulir-bulir, tapi tangannya masih berusaha menyelesaikan jahitan kancing yang tak kunjung selesai. Punggung tangan Bathara secara bergantian menghalau air mata yang tak kunjung berhenti keluar.

    "Mbok..."

    "Aden...." Simbok beringsut mendekat, menipiskan jarak di antara mereka. "Aden ndak apa-apa nangis, Den....." Simbok membiarkan Bathara masuk kedalam rengkuhnya.

    "Nakula, Mbok...." Bathara tergugu. "Nakula, beneran pergi, Mbok?"

    "Aden," Simbok melepaskan tautan pelukan mereka, memegang kedua bahu rikuh milik Bathara, "lihat Simbok."

    Dengan pundak yang masih bergetar dan napas yang tersengal, Bathara melihat kedua mata Simbok dengan tatapan rapuh. Batahra juga tahu, bahwa saat ini Simbok pun sama sedihnya.

    "Kematian memang ndak bisa kita terima secara serta-merta, Den. Bagaimana manusia bisa merelakan sesuatu yang direnggut dengan tiba-tiba? Ndak ada, Den. Jadi, sudah sewajarnya kita untuk bersedih. Kita ndak perlu cepat-cepat keluar dari kubangan itu, Den. Ndak perlu." Suami Simbok meninggal pada saat kerusuhan 98' saat yang sama ia harus merelakan satu sisi pendengaranya, dan kini harus digantikan dengan alat bantu dengar prostetik. Simbok telah banyak kehilangan, pun dengan cara-cara tragis lainnya. "Ndak ada jalan pintas untuk menyudahi ratapan atas kehilangan, Den."

Gotta Be YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang