"Aku keseleo, tau! Keseleo!"
Sudah kelima belas kalinya Barata mengucapkan kata-kata itu pada adiknya. Bukannya menenangkan, Bora malah tertawa keras-keras.
"Iya, keseleo sambil bugil. Terus Eda jadi syok berat liat itu Abang."
Dengan tak tahu malu, Bora memelototi bagian depan celana abangnya. Tonjolan di sana membuktikan bila Barata punya ukuran aset yang tak bisa disepelekan.
Buat Bora itu bisa jadi modal untuk membujuk calon kakak iparnya agar mau bertahan di samping Barata. Ukuran alat vital bisa jadi salah satu penentu kebahagiaan. Sikap dingin sang abang bisa diredam dengan kegagahannya di tempat tidur kelak.
"Dia main masuk sembarangan," dengkus Barata keras. "Mana pake tanya aku udah mati apa belum."
Tawa Bora makin kencang. Perempuan itu sampai terbungkuk-bungkuk. Beruntung anaknya tak ada yang ikut ke rumah sakit. Sekali lagi Papi bertindak jadi babysitter dadakan karena masih kangen dengan cucunya.
Di samping Bora, sang suami menepuk-nepuk lembut bahu istrinya. Lewat sentuhan itu, dia memperingatkan Bora agar tidak keterlaluan menjahili Barata.
"Kalian itu emang udah cocok jadi pasangan kekasih. Dari musuh jadi cinta. Lagian ya, Eda itu udah top markotop soal naklukin kedinginan Abang."
"Maksudnya?" Kening Barata berkerut.
"Ya, coba aja Abang inget-inget. Banyak banget cewek deketin Abang, tapi semuanya mental karena dijudesin sama Bang Bara. Cuma Eda Mora yang bertahan sampai di titik ini."
"Dia punya misi khusus." Barata berkata tanpa menjelaskan lebih lanjut. Beruntung Bora punya perspektif lain soal misi itu.
"Iya, misi buat taklukin Abang. Dia cewek Batak tulen. Mana bisa dikalahin sama laki-laki?" Bora melirik suaminya. "Macam suami aku ini. Bang Fahri sayang banget ke aku. Someday Abang juga pasti kayak Bang Fahri kalau udah nikah sama Eda Mora."
"Mimpi saja kamu." Barata bergidik.
Bora tersenyum lebar. Dia mengambil koper Barata. "Kami ke bawah dulu, Bang. Entar aku panggil suster buat bawain kursi roda."
"Aku bisa jalan sendiri."
"Tet-tot. Permintaan ditolak. Itu udah SOP rumah sakit. Pasien yang dinyatakan sembuh harus dibawa ke lobi pake kursi roda." Bora menggamit lengan suaminya. Keduanya berpamitan sebelum menghilang dari kamar.
Sementara Barata masih duduk di tepian tempat tidur. Matanya melirik pergelangan kaki kiri yang diperban. Niat hati ingin mandi karena sudah gerah berada di rumah sakit justru harus berakhir dengan insiden menyedihkan lagi.
Barata tak mengira bila Mora akan datang. Santai dia mandi dengan pintu terbuka. Lalu perempuan itu masuk dan Barata yang kaget tak sengaja terpeleset. Dia sudah berusaha diam agar tidak menarik perhatian Mora. Pasalnya Barata memang tengah telanjang bulat.
Namun, semesta berkehendak lain. Mora justru masuk kamar mandi. Teriakan kencang perempuan itu menarik perhatian para perawat. Alhasil Barata harus menahan malu karena jadi tontonan Mora sekaligus dua orang perawat yang membantunya kembali ke tempat tidur.
"Sialan." Barata menyugar rambut frustrasi. "Kenapa selalu aja ada kejadian aneh kalau dekat-dekat sama cewek itu, sih? Kecelakaan kemarin juga deketan sama kafe dia."
Telinga lelaki itu menangkap suara pintu kamar dibuka tutup. Barata akhirnya bernapas lega sebab perawat sudah datang. Infus yang menancap di tangan juga sudah dilepas setelah insiden kamar mandi tadi. Sekarang Barata siap untuk pulang.
"Aku bisa jalan sendiri, Sus. Nggak perlu pakai kursi ro–"
Perkataan Barata tak pernah selesai. Refleks lelaki itu melotot galak. "Kamu ngapain lagi ke sini? Jauh-jauh sana. Bawa sial mulu kamu itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pariban in Action (TAMAT)
RomanceDua puluh dua tahun Mora Siregar hidup dalam pendiktean orang tuanya yang konservatif. Saat memiliki kesempatan kuliah di Jakarta, Mora memutuskan untuk menjauh permanen dari keluarganya. Namun, satu kejadian pelik membuat perempuan itu terpaksa pul...