Di atas kulit putih, warna merah karena lelah terpancar, semua orang di sana bisa melihatnya, wajah lelahku di bawah terik matahari sangatlah mengundang simpati, tapi ini adalah hari dimana aku melakukan masa orientasi ku, tidak boleh ada yang bersimpati padaku.
Memang kejahilan para senior disini tidak separah yang kubayangkan, tetapi, dijemur dibawah terik matahari membuatku yang lemah menjadi ingin jatuh pingsan.
Ini hari ketiga ku dijemur, padahal aku tidak melakukan kesalahan apapun, orang di belakang barisanku lah yang selalu membuat ulah, gadis cantik berambut panjang, yang tingginya, entahlah aku hanya setinggi ketiaknya, tiga hari berturut-turut ia membuat banyak kesalahan dan dengan santainya menimpakan kesalahan itu padaku, sehingga ia terbebas dari matahari yang akan membuatnya berkeringat dan membakar habis kulit mulusnya. Tidak kuputuskan untuk menyalahkan gadis itu, para senior pun luluh di bawah lututnya, sehingga akan sia sia jika aku menyalahkan gadis itu.
Jam tanganku hampir menunjukkan waktu tengah hari, pusing dikepalaku sudah tak bisa kutahan, nafasku sudah mulai tersengal-sengal, kedua kaki yang seharusnya sangat kuat menopang tubuhku kini melemas, penglihatanku pun mulai memburam, dan.. pst. Akupun tak sadarkan diri.
Perlahan aku mencoba membuka mata. Kilatan putih ruang kesehatan menyilaukan mataku yang baru mulai beradaptasi. Akupun mencoba untuk duduk, tidak, aku tidak merasakan sakit apapun di tubuhku, padahal terakhir kuingat adalah aku tak kuasa menahan sakit akibat matahari yang berada di atasku.
"Junior 65 udah bangun, mau di apain nih?" Seorang senior yang aku tidak bisa mengingat apa dia ada saat dilapangan, sedang terduduk di pojokan ruangan kesehatan sambil menelpon temannya yang kurasa adalah salah satu penjaga dilapangan.
"Ok ok, gue bawa kesana ya." Ia pun menutup teleponnya dan bangkit dari duduknya, ia berjalan kearahku, tanpa sedikit senyum di wajahnya.
"Udah sehat lu? Disuruh balik ke lapangan."
Akupun turun dari kasur dan berjalan dibelakang punggung senior itu, ia tak menyebutkan nama, pula aku."Tidak, tidak perlu, namaku bukan hal penting baginya, aku hanyalah junior 65." Pikirku.
Aku menghentikan langkahku diperbatasan koridor dan lapangan, enggan rasanya melompat lagi dibawah terik matahari yang tak kunjung meredup, kulihat sesama senior mereka berbisik sambil sesekali melirikku. Dengan wajah tanpa senyumnya Senior 32, itu yang tertulis di bajunya, mendatangi ku dan memberi isyarat padaku agar aku mengikuti jalannya. Langkahnya besar, posturnya tidak begitu tegap, tubuhnya gemuk tapi memiliki kaki yang kecil, rambut keritingnya sesekali bergoyang akibat guncangan yang ia buat selagi ia berjalan. Tiap melewati para gadis yang selevel dengannya, ia selalu menyapa, dan para gadis pun membalasnya dengan senyum manis.
"Populer." Pikirku.
Ia berhenti didepan ruang kelas tempat dimana aku menyimpan tas ku."Cepet ambil tas lo." Tanpa bertanya akupun langsung mengambil tas ransel berwarna hijau terang yang ku simpan di atas meja paling depan.
"Ikutin gue." Bagiku ini seperti perintah satu arah, ada rasa bahwa aku tidak diperbolehkan untuk bertanya. Maka kulakukan semua yang ia perintahkan tanpa bertanya macam-macam.
Lelaki itu berjalan menuju tempat parkir, parkiran motor tepatnya. Untuk apa? Mana kutahu, ia hanya memerintahkanku untuk mengikutinya."Gue diminta Dio buat nganterin lu pulang, muka lu pucet, Dio nggak tega buat ngejemur elu lebih lama." Katanya sambil menyalakan mesin motornya.
"Kak Dio? Ooh yang jaga di lapangan tadi ya?" Tanyaku dengan polosnya.
"Iya, cepetan naik, gue masih ada tugas nih."
"Ya kalo mau cepet mah kasih gue duit terus suruh aja gue pulang sendiri." Pikirku jengkel.
KAMU SEDANG MEMBACA
It Was Always You
Teen FictionKau datang Membuat kebahagiaan juga datang Membuatku terbang menembus angkasa Menoreh senyum menuai tawa Kau yang pertama datang, kau pula yang pertama pergi Maukah kau sekali lagi menoleh kepadaku? Memberi senyum termanismu? Hei Libra Rajatta, liha...