"Lala makan ya sama Bi Ayu." Ucap Bagas penuh kelembutan, Bi Ayu sudah ada di dekat perempuan kecil itu dengan tangan yang membawa satu piring makanan.
"Ayo Bibi bantu." Lala mengangguk, ia menerima suapan demi suapan dari sendok yang diarahkan Bi Ayu ke mulutnya.
"Maaf Pak, kalau boleh Bibi tahu dimana Mba Keira ya?" Bi Ayu merupakan asisten rumah tangga keluarga Bagas wajar jika perempuan paruh baya itu menanyakan soal Nyonya besarnya.
Bagas tersenyum dan menggeleng, ia bingung harus menceritakan dari mana. Semua serba mendadak. "Dan maaf Lala ini siapa ya Pak?"
Bukannya berhenti bertanya, Bi Ayu mencoba mempertanyakan nona kecil ini. "Dia anak saya Bi. Namanya Lala."
Mendengar jawaban yang keluar dari mulut Bima membuat Bi Ayu bingung, terlihat jelas dari kerutan yang tercipta di dahinya. "Maksud Bapak, Lala anak Bapak?"
"Iya."
"Dengan siapa Pak?"
"Bibi masih ingat mantan pacar saya? Ya, dia adalah Ibu dari Lala." Jawabnya lugas. Bagas tidak mau menutupi asal usul Lala.
Jawaban yang keluar dari mulut Bagas membuat Bi Ayu terkaget, bayangan akan nasib rumah tangga kedua majikannyalah yang terlintas.
"Bapak selingkuh?" Dua kata yang membungkam mulut Bagas. Apa dirinya selingkuh? Ah, Bagas pikir dia tidak selingkuh.
"Tidak."
"Terus?" Bi Ayu mencoba menggali informasi yang ada. Sebagai perempuan ia merasa iba dengan Mba Keira. Bagaimanapun menerima anak yang bukan anaknya apalagi anak suaminya tidaklah mudah. Butuh jiwa yang lapang dan mencoba untuk berdamai dengan takdir.
"Dari awal saya menikah tidak pernah selingkuh Bi. Jadi jangan tanya lagi."
Bagas enggan membahas masa lalunya, sebagai pendosa ia hanya ingin berdamai dan mencoba membuka lembaran baru. "Jadi tugas Bibi jagain Lala jika saya pergi kerja. Dan sekarang saya harus pergi."
Bagas bangkit meninggalkan keduanya, sebelum itu Bagas meminta izin ke putrinya.
"Lala di rumah sama Bi Ayu, Papa kerja dulu ya." Tangannya mengusap puncak kepala Lala, dan mendaratkan kecupan di kening. Bagas ingin menjadi orangtua yang baik untuk putrinya.
Lala mengangguk, tangan gadis kecil itu menyalami tangan Papanya, bibir kecilnya mencium pipi Bagas. Sebuah hubungan yang alami antara Ayah dengan anak.
"Jangan nakal ya."
"Iya Pa." Bagas bergegas menuju mobilnya, ia mengarahkan ke sebuah gedung pencakar langit yang tak lain apartemen istrinya.
Sampai disana, Bagas berjalan menuju unit apartemen milik Keira, ia mencoba membunyikan bel, namun sayang beberapa kali bel berbunyi tidak ada sautan dari dalam. Mungkin ini karena masih terlalu pagi, dan mungkin saja istrinya tengah beristirahat.
Bagas memilih untuk pergi, ia akan kesini nanti siang. Sebagai suami ia khawatir akan kondisi Keira.
"Dimana kamu Kei." Lirih Bagas mengucapkannya di dalam lift yang akan mengantarkannya ke baseman apartemen.
***
"Fi, kamu masih ingat perempuan yang dulu pernah aku temui?" Alfi menoleh, ia menatap Keira dengan tatapan bertanya. Kondisi Keira sudah membaik setelah Bagas pulang, bahkan Keira sudah mau diajak bicara ringan.
"Siapa?"
"Mantan pacar Bagas, tapi itu udah lama sebelum aku nikah."
Ingatan yang begitu lemah membuat Alfi berpikir keras. "Yang kamu temui di apartemen milik Bagas?"
Keira mengangguk, "Kayaknya dia perempuan yang sudah ngasih Bagas anak. Berarti mereka dibelakangku selingkuh, ya?"
Alfi mengangguk, ia menyetujui anggapan Keira. Bagaimana tidak selingkuh jika menghasilkan anak?
"Padahal jiwa raga aku sudah aku serahkan ke Bagas, tapi ternyata dia tidak cukup dengan aku." Alfi merasa prihatin, tapi ia tidak bisa berbuat banyak. Apalagi melihat apa yang terjadi sekarang, banyak pria yang mau menukar kebaikan istri pertama demi perempuan yang ia jumpai di jalan.
"Kei." Ucap Alfi dengan tubuh sedikit tegap, wajahnya ia condongkan ke arah Keira. "Tapi kalau mereka selingkuh, kenapa baru sekarang Bagas mengajak anak itu tinggal bersama?"
Keira menggeleng dengan pundak yang luruh, ia tidak tahu.
"Menurutku, kalau mereka selingkuh seharusnya mereka merahasiakan anak itu, agar hubungan mereka tetap berjalan. Tapi inikan beda, anak itu diajak Bagas ke rumah. Pasti ada sesuatu hal yang terjadi dengan Ibunya."
Analisa yang baik. Tapi tetap saja anak itu ada karena sebuah hubungan terlarang. "Aku nggak mau tahu Fi, tetap saja anak selingkuhan Bagas."
"Coba deh, kamu cari tahu selingkuhan Bagas. Siapa tahu kamu bisa mencari informasi darinya." Sebuah nasihat yang sangat tidak dianjurkan untuk kaum perempuan. Jiwa yang begitu ingin tahu biasanya akan menciptakan luka. "Nggak, aku tidak mau. Ngapain coba cari penyakit."
"Tapi aneh si."
Alfi menganggukan kepala, jiwa detektif Alfi naik berkali lipat tapi ia juga tidak akan terjerumus ke masalah temannya terlalu dalam.
"Yaudah aku mau ke kamar dulu." Keira memilih untuk masuk, ia butuh menjernihkan otak dan pikiran. Masalah yang tiba-tiba membuatnya kalang kabut.
Tangan Keira mengambil ponsel yang sejak dua hari lalu dimatikan, ia mencoba menyalakannya. Orang pertama yang ada di notifikasi adalah Bagas, namun ia tidak menggubrisnya. Keira lebih tertarik dengan nama yang sangat ia sayangi, yaitu Bunda Dara, ibu mertuanya.
Keira mencoba menelpon perempuan paruh baya itu, ia ingin mengabarkan jika ia baik-baik saja.
"Hallo Bun? Ini Keira."
"Ya Tuhan, dari mana kamu nak. Bunda cari-cari dari kemarin kamu tidak ada di rumah dan ponsel kamu mati. Bunda khawatir." Jawab suara yang ada disambungan, suara perempuan yang penuh kekhawatiran dan ketakutan. "Keira ada di suatu tempat, Bun. Memang ada yang mau Bunda sampaikan?"
Bunda Dara menghela napas panjang, ia merasa prihatin akan apa yang terjadi. Sebagai orang tua ia merasa gagal membesarkan anaknya. "Maafkan Bunda ya, Bunda merasa gagal mendidik Bagas."
Keira tersenyum kecut, ia tahu jika mungkin saya perempuan paruh baya itu juga kecewa. Apalagi ia sebagai orangtua yang telah melahirkan Bagas. "Nggak Bun, Bunda sudah baik sebagai orangtua. Bagas saja yang salah, lagian Bagas yang melakukan kesalahan itu."
"Tapi.... Nak, Bunda malu sebagai Ibunya Bagas. Wajah Bunda rasanya seperti dilempar kotoran. Bunda rasanya tidak punya keberanian untuk bertemu dengan kamu. Maafkan Bunda ya nak." Suara Bunda Dara sedikit bergetar, rasa kecewa membuat hatinya bersedih. Dara akui jika ia lalai sebagai orangtua dalam mendidik anak.
"Bun... Nggak usah nangis, semuanya sudah terjadi." Apa bisa anak itu dimasukan kembali ke perut ibunya? Tidak bisakan? Jadi disini Keira mencoba membuka hati dan pikirannya untuk berdamai. Entah pilihan apa yang akan ia pilih, berpisah atau tetap dengan Bagas.
"Tapi Bunda merasa malu nak."
"Bun, kalau Bunda khawatir Keira akan pergi, Keira berjanji tidak akan pergi, karena bagaimanapun Keira tetap anak Bunda. Terlepas hal apa yang akan Keira pilih nanti." Membayangkan masa depannya saja, Keira masih enggan. Ia hanya ingin bernapas sejenak sebelum masuk kembali ke kehidupan nyata.
"Nak, bagaimanapun pilihan Keira nanti, Bunda akan mendukung pilihan Keira. Karena bagi Bunda sebagai perempuan menerima anak dari perempuan lain itu tidak mudah."
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Masa Itu ✔ (Tamat di Karyakarsa)
Genel Kurgu"Nggak ada perempuan yang baik yang mau sama pasangan orang!" Teriak Keira menatap sengit ke arah Bagas. "Kei!" Teriak Bagas membalas teriakan Keira. Disini Bagas yang salah, bukan perempuan kecil yang tengah ia gandeng bahkan perempuan kecil itu s...