Ompung Pintor akhirnya dipenjara.
Bapa dan Mamak mengabaikan perintah Ompung Sahat untuk tidak melaporkan keluarga sendiri ke polisi. Namun, penculikan Mora dan fakta Ompung Pintor menyimpan rencana untuk melakukan pembunuhan pada cucu Siregar sudah tidak bisa ditoleransi. Bapa dan Mamak tidak ingin anak semata wayangnya mengalami musibah lagi karena membiarkan trouble maker berkeliaran.
"Lega hati Mamak." Wanita itu yang sudah berada di Jakarta seminggu lamanya senang setelah menerima telepon dari pengacara keluarga.
"Ompung di Medan pasti sedih." Mora datang dengan senampan kopi hitam dan camilan tradisional.
"Klepon?" Mamak terang-terangan mengagumi jajanan basah yang dibawa putrinya kali ini.
"Iya. Dikirimin sama toko kue langganana awak, Mak. Miss Klepon."
"Itu nama pemiliknya?"
Mora terkekeh, "Bukan. Itu nama toko kuenya. Kalau pemiliknya punya nama Mbak Ellina. Cantik orangnya, Mak. Dia bawa jajanan pasar jadi cemilan elite. Toko kuenya berkelas kali."
Mamak yang sudah lama tak mengudap kue tradisional asal Jawa serasa mendapat harta kecil. Nikmat dia menyantap butiran-butiran manis berlapis parutan kelapa itu. Lalu mulutnya menimpali perkataan Mora.
"Ompung harus bisa merelakan hal ini. Semakin lama Ompung Pintor dibiarkan berkeliaran di luar, semakin bahaya buat kita semua."
Mora menatap mamaknya lekat-lekat. Ada keraguan di wajahnya, tetapi perempuan itu harus berkata jujur.
"Mak, kan Ompung Pintor sudah bukan masalah lagi buat keluarga kami, kan?"
Mamak mengangguk. "Pengacara kita akan memastikan ompung dipenjara."
Mora menjilat bibir. Dia memberanikan diri berkata. "Berarti sudah tak ada kewajiban awak buat nikah sama pariban, kan?"
Kunyahan Mamak terhenti.
"Dulu Nenek Dame kasih syarat itu agar harta keluarga tetap aman dari Ompung Pintor. Tapi sekarang Ompung sudah di penjara. Awak juga tak terlalu berminat ngurusin kebun kopi bagian Nenek Dame. Itu biar jadi urusan Bapa saja."
"Cakap apa kau, Mora!" Mamak tiba-tiba bicara keras. Lupa sudah dia dengan kenikmatan klepon dan kopi hitam.
"Wasiat Nenek Dame harus dilaksanakan. Persiapan pernikahan juga sudah siap seratus persen. Tak ada masalah juga kau sama paribanmu itu. Kenapa malah mau batalin pernikahan, hah?"
Mora meringis. Bayangan testpack dengan tanda plus jelas di batangannya kembali menghantui benak perempuan itu. Sejak dia menemukan alat kecil itu, Mora belum bertanya pada keluarga Harahap. Dia masih menyimpan sendiri pertanyaannya.
Namun, Mora tak ingin merebut kebahagiaan orang lain. Instingnya mengatakan Barata ada hubungannya dengan testpack itu. Skenario terburuk sudah dipikirkan Mora. Bisa saja demi perjodohan ini, Barata harus memutuskan hubungan dengan kekasih yang sedang hamil.
Dan itulah alasan paling logis yang diyakini Mora dari kekehnya Barata menolak perjodohan dengannya. Andai dia tahu dari awal, Mora akan sukarela turut membantu pembatalan perjodohan.
"Mak, dengarkan penjelasan awak."
"Tak ada. Sudahlah. Pernikahan tinggal menghitung hari. Baik-baiklah kau sama Barata. Nah, itu dia. Panjang umur orangnya datang."
Mora menoleh. Sosok jangkung dan tampan yang menarik minat pengunjung kafe tampak berjalan tegap ke arahnya. Barata mengangguk singkat pada Mamak.
"Horas, Mak." Barata menyapa ramah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pariban in Action (TAMAT)
Roman d'amourDua puluh dua tahun Mora Siregar hidup dalam pendiktean orang tuanya yang konservatif. Saat memiliki kesempatan kuliah di Jakarta, Mora memutuskan untuk menjauh permanen dari keluarganya. Namun, satu kejadian pelik membuat perempuan itu terpaksa pul...