20 - rumah kebun pisang

7 0 0
                                    


"Maaf, pak, ibu dimana ya, pak?" Tanya Muhtar ragu-ragu.

"Sudah lama ibu meninggal dunia dan bapak juga tidak mau menikah lagi," jawab pak Mulyono sambil menghela nafas.

Berarti benarlah Bapak Mulyono adalah orang yang menyelamatkan hidupnya.

"Ah, bapak sudah makan pisang gorengnya, tapi kita belum kenal lebih jauh," kata pak Mulyono lagi.

"Iya, anak ini siapa? Coba cerita," kata Pak Mulyono.

"Maaf, pak, saya anak bapak," jawab Muhtar tersenyum.

"Anak?" Tanya Pak Mulyono heran. Wajahnya dipalingkan menatap Muhtar. Ditatapnya Muhtar lekat-lekat.

"Saya tidak punya anak. Kami sama-sama tidak bisa punya anak," kata Pak Mulyono tersenyum. Muhtar melihat senyumnya sedikit getir.

Muhtar tersenyum memandang wajah sejuk pak Mulyono di usianya yang sudah senja. Kerut di sudut matanya nampak jelas menghiasi wajahnya. Beberapa giginya sudah tanggal.

Keakraban mereka seperti dua orang yang sangat dekat tapi lama tak bertemu dan memang betul meewka puluhan tahun tidak peenah bertemu.

Muhtar pandai sekali mengambil hati bapak yang telah menyelamatkan hidupnya.

Tampak Pak Mulyono terus memandang wajah Muhtar sambil mengernyitkan dahinya berpikir mengingat-ingat siapa laki-laki gagah yang duduk di sampingnya berani mengaku-aku sebagai anaknya.

Lalu Muhtar melanjutkan bicaranya,

"Bapak masih ingat tidak, ketika bapak pernah merawat seorang bayi laki-laki sekitar tiga puluhan tahun yang lalu?" Muhtar bertanya lembut.

Pak Mulyono diam tidak menanggapi. Ia terus saja memandang wajah Muhtar.

"Dulu sekali, sekitar tiga puluhan tahun yang lalu, ketika musibah bencana bukit air terjun Wonojati runtuh dan menimbulkan air bah, mungkin bapak ingat peristiwa itu?" kata Muhtar memancing ingatan Pak Mulyono.

Pak Mulyono mengernyitkan dahinya. Ditatapnya Muhtar seperti bertanya-tanya.

"Ah, iya, iya, bapak ingat peristiwa itu. Mengerikan. Sekarang air terjun itu tidak ada lagi. Hanya tinggal aliran sungai saja. Kenapa ya anak menanyakan peristiwa itu?"

Dengan singkat dan perlahan Muhtar menceritakan semua kejadian bukit longsor, air bah sampai pemakaman bayi yang diyakini adalah anak ibu Latifah yang hilang.

Muhtar juga bercerita tentang penemuan seorang bayi laki-laki di kebun pisang oleh seorang bapak yang tinggal di desa Condong Jati. Padahal musibah bencana alam itu terjadi di Desa Wonojati.

"Iya, nak, bapak ingat betul semua kejadian-kejadian itu. Tak pernah bapak bisa melupakannya,"

"Ketika kami merawat bayi itu, kami merasakan sangat bahagia punya anak. Meski bukan anak sendiri. Ditemukannya bayi serasa dapat anugerah luar biasa dari Allah,"

"Ceritanya bagaimana, pak, sampai bapak bisa menemukan bayi itu?" Tanya Muhtar.

"Ketika bapak sedang ke kebun mau memanen pisang, persis di bawah pohon pisang yang mau bapak panen, ada bayi. Tidak menangis. Badannya kotor sekali. Tidak pakai baju apa-apa. Telanjang. Bapak pikir bayi itu sudah meninggal. Tapi pas bapak gendong, bayi itu tiba-tiba bergerak dan menangis. Langsung bapak teriak-teriak panggil orang-orang. Kami ramai-ramai membawa bayi itu pulang ke rumah bapak," cerita Pak Mulyono mengenang kejadian itu.

"Almarhum istri bapak memandikan bayi itu dengan air hangat. Lalu memakaikannya kain panjang untuk selimut karena kami tidak ada yang punya baju bayi. Warga yang lain ada yang memanggil bidan, ada yang mengambil susu kambing. Kebetulan ada kambing tetangga disitu yang baru beranak," kata pak Mulyono sambil menunjuk ke arah rumah sebelah yang hanya kelihatan atap rumahnya saja terhalang pohon dan tanaman.

KILASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang