14. Penyelamatan

29 12 1
                                    


Malam sudah memasuki tengah malam. Sebuah motor berhenti di depan rumah yang nampak gelap dan sepi. Sepasang mata dari balik helm menatap lurus ke arah sebuah kamar di lantai dua yang masih terang.

Setelah beberapa menit melamun, Barra memutuskan menelepon seseorang.

"Halo Va." ucap Barra dengan suara lemah.

"Kenapa?" jawab Anva dari seberang telepon.

Barra terdiam sejenak sebelum menjawabnya.

"Tadi Vagos nyerang Farel sama yang lain, terus mereka di bawa pergi." ucap Barra menahan sesak.

Bugh!

Terdengar sebuah pukulan dari seberang telepon. Anva terdengar marah dari sana.

"HP Farel udah lo lacak?"

"Udah, nggak ada hasil."

"Terus gimana?" tanya Anva dengan amarah tertahan.

"Lo sama yang lain jaga di rumah Naya sekarang. Terus minta Anhar buat cari Farel. Gue yakin mereka masih belum jauh. Ntar gue nyusul." pinta Barra.

"Oke." balas Anva singkat lalu menutup teleponnya.

Barra terdiam sejenak mengistirahatkan pikirannya. Segalanya jadi makin rumit sekarang. Dan Hafidz juga belum ada kabar sama sekali. Apa Hafidz masih mengikuti Vagos sekarang? Atau justru tidak ada disana?

"Bar." panggil seseorang tiba-tiba. Panggilan itu ternyata dari Naya yang baru saja keluar dari gerbang rumah.

Barra menatap Naya heran. Ia pun turun dari motornya dan berjalan menghampiri Naya.

"Naya? Kenapa lo keluar? Masuk! Ini udah malem." perintah Barra.

Bukannya menurut, Naya malah diam menatap Barra. Wajah Barra terlihat kelelahan. Luka akibat kejadian kemarin masih membekas di wajahnya. Apa Barra tidak mengobatinya?

"Ayah sama Bunda lo udah pulang?" tanya Barra sembari melihat ke arah rumah Naya yang terlihat gelap.

"Udah."

"Ya udah, lo istirahat sekarang. Anva bentar lagi bakal kesini jagain lo."

"Nggak perlu. Gue bisa jaga diri."

"Nay, nurut aja bisa nggak? Vagos udah ngelibatin lo! Mereka nekat! Mungkin sekarang Farel, gimana kalau setelah ini lo juga?!" ujar Barra dengan suara meninggi dan tatapan mengintimidasi sehingga membuat Naya bungkam. Mungkin efek Barra yang kelelahan membuatnya sedikit emosi.

Merasa dia sudah kelewatan, Barra menghela nafas. Sekarang justru dia yang merasa bersalah. "Sorry Nay." ucapnya setelah itu.

"Udah malem. Masuk terus tidur, nggak usah mikirin apa-apa." lanjut Barra setelah diam beberapa saat.

Mau tidak mau, Naya pun mengangguk. Tidak tega juga jika ia menolak keputusan Barra di saat kondisinya seperti ini. Ia memang tidak tau pasti apa saja yang sudah di lalui Barra hari ini. Tapi segala masalah Barra seakan tergambar jelas di wajahnya yang kelelahan sekarang.

"Gue cuma mau kasih tau, jangan cuma mikirin orang lain tapi lo nggak mikirin diri lo sendiri."

Setelah itu, Naya pun beranjak pergi memasuki rumahnya meninggalkan Barra yang hanya diam setelah mendengar kata-kata Naya. Ia menatap kepergian Naya yang mulai menghilang dari balik pintu.

*****

Asap rokok mengepul dari bibir seorang pemuda tanpa takut dirinya akan terciduk guru BK dengan perbuatannya itu. Merasa rokoknya habis, pemuda dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuhnya itu hendak menyulut kembali rokok yang baru. Tangan seseorang menahannya berharap ia akan berhenti melakukan perbuatannya.

Hafidz Al-GhazaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang