BAB 9 : Belajar Agama

18 4 4
                                    


"Tidak ada kata terlambat untuk merubah diri."

~ Hasna Fadhillah ~

Adnan tengah membaca buku urutan salat. Ia begitu serius memahaminya. Tiba-tiba saja Hasna menghampirinya, ingin mengajak Adnan ikut makan. "Nan, ayo makan dulu. Makanannya udah siap. Kamu lapar, kan?" tanya Hasna.

Adnan menoleh, lalu beranjak dari posisinya. "Ah, udah matang? Aku udah sangat lapar."

"Ayo, ke meja makan. Nanti kamu beritahu enak apa enggak, ya?"

"Baiklah. Pasti sangat enak."

Mereka berjalan menuju ruang makan. Adnan duduk di samping Fadhilah, berhadapan dengan Hasna.

Hening, hanya suara sendok yang berdentingan. Adnan begitu lahap, menikmati masakan umi Naura dan Hasna. Tiba-tiba ada bayangan saat ia memakan sayur bayam.

Apa dulu ada yang sering masakin sayur bayam buat aku?

"Gimana, enak, Nan?" tanya Naura kepada Adnan.

Adnan mengangguk. "Iya, Umi. Em, boleh nambah lagi? Maaf malu-maluin, hehe," guraunya.

"Nggak apa-apa, Nak. Nambah yang banyak boleh. Umi sama Hasna masak banyak, kok," sahut Naura.

"Iya, Nan. Makan aja yang banyak," sahut Hasna.

"Kamu nggak usah sungkan, Nan. Anggap aja ini rumahmu dan kami keluargamu sementara sampai kamu sembuh," pinta Fadhilah. Adnan mengangguk begitu patuh. Mereka kembali melanjutkan makan.

Adnan benar-benar menambah makanan. Ia sangat menyukai masakan buatan Hasna dan Naura. Keluarga Hasna tersenyum, melihat pria itu sangat lahap makan.

Usai makan, mereka beres-beres ruang makan bersama. Hasna dan Naura yang mencuci piring. Adnan dan Fadhilah membereskan meja makan.

Fadhilah mengajak Adnan ke suatu ruangan. "Udah kamu baca-baca tadi?" tanya Fadhilah.

"Udah, Bi. Baru aku baca aja."

"Oh, ya, dihafalkan. Nanti kalau udah hafal, bilang sama Abi. Nanti Abi bantu kamu."

"Adnan bakal berusaha, Bi. Oh, ya, Bi, apa aja kewajiban yang harus kita lakukan selain salat?" tanya Adnan ingin tahu.

"Banyak. Puasa, zakat, ngaji tapi nggak wajib, tapi seharusnya dilakukan saja. Bersedekah, bersalawat. Tapi, Adnan belajar salat dulu aja, ya? Pelan-pelan."

"Baik, Bi."

Adnan pergi ke kamarnya, ia kembali membaca buku tuntunan salat. Ia begitu serius membacanya.

"Jadi, pertama niat dulu. Ada lima waktu salatnya. Bisa nggak, ya?" gumam Adnan.

Adnan berusaha menghafalkan dari niat. Hasna yang berada di depan kamar Adnan, memperhatikan pria itu belajar menghafalkan niat salat. Bibirnya melengkung sempurna, melihat itu.

Kenapa jantungku berdebar banget lihat dia? Tapi, aku kagum banget lihat dia mau belajar agama kayak gitu. Jarang banget lihat pria begitu.

Tiba-tiba saja ada yang menepuk pundak Hasna, membuat Hasna menoleh ke belakang. "Abi?"

"Lihatin pria itu? Kamu tahu kan, pesan Abi?" tanya Fadhilah.

Hasna langsung menundukkan pandangannya. "Maaf, Bi. Hasna nggak sengaja."

Fadhilah tersenyum, menatap Hasna. "Jangan diulang lagi, ya? Hasna kan, tahu Hasna harus jaga pandangan dari lawan jenis yang bukan mahram."

"Iya, Bi. Namanya zina mata. Kita harus bisa menjaga pandangan dan menjaga diri dari lawan jenis yang bukan mahram kita. Dalam sebagian surah An-Nur ayat 31 menjelaskan, Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Maafin Hasna udah nggak jaga pandangan. Hasna hanya kagum saja sama dia."

"Abi paham, kok. Ya udah, sekarang jangan di sini. Biarin dia belajar." Hasna segera meninggalkan, menuju kamar. Hasna menatap jendela, ia teringat wajah pria itu.

"Kenapa aku sangat kagum padanya?"

***

Seharian Adnan berkutat dengan buku tuntunan salat. Iya sudah dapat menghafalkan niat salat lima waktu, takbir, dan doa iftitah. Saat ini Adnan tengah menghafalkan surah Al-fatihah.

Tiba-tiba saja Hasna mengetuk pintu, membuat Adnan segera membuka pintu. "Assalamualaikum, Adnan."

"Waalaikumussalam, Hasna. Ada apa?" tanya Adnan.

"Kamu udah hafalin sampai mana?" tanya Hasna.

"Surah Al-fatihah. Aku masih berusaha. Em, kamu bawa apa di tanganmu? Kayaknya enak."

"Ini kue cokelat. Tadi aku iseng buat aja. Kamu mau?" tawar Hasna.

"Boleh."

Hasna memberikan sepiring berisi kue cokelat untuk Adnan. "Nih, makan. Habisin, ya. Semoga kamu suka. Oh, ya, kalau mau bertanya, jangan sungkan."

Adnan mengangguk, kemudian menerima kue itu. Ia kembali masuk ke dalam kamar. Adnan mulai mencicipi kue. Ia tersenyum menikmati kue tersebut. "Enak banget. Aku jadi kagum sama dia."

"Mereka semua baik-baik, ya. Kayaknya aku bakal lebih betah di sini."

BAB 9 update, happy reading. 🥰

Bidadari Hati Untuk Adnan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang