27. Untruth

922 77 9
                                    

Setelah menyemili beberapa kue yang tersaji, mata Gabby mencari-cari dimana laki-laki itu berada. Ia tak menemukannya.

"Om. Maxim kemana?" tanyanya memandangi sekitar.

Minho menjelaskan apa yang baru saja terjadi, mulai dari Hitoshi yang datang mengacau hingga akhirnya ia menceritakan semuanya pada Maxim.

Mendengar hal itu Gabby buru-buru menyusul Maxim. Ia meninggalkan Minho dan berlari ke luar hall, meminta Tadashi untuk mengantarkannya pulang.

Pesta belum berakhir, ia juga belum berpamitan pada keluarganya yang lain. Tapi apa boleh buat, Maxim lebih penting dari mereka semua.

"Nona kenapa buru-buru?" Tanya Hina yang melihat Gabby langsung mengangkat ujung dressnya keluar dari mobil.

"Bibi, mana Maxim?"

"Tuan Maxim sudah naik ke kamarnya." Jawab Hina.

Gabby langsung berlari menuju tangga dan melepas stiletto yang ia kenakan di sembarang tempat.

Gabby membuka pintu kamar yang berada disebelah kamarnya, yang tadi pagi sempat ia lihat pintunya terbuka. Ruangan yang gelap tanpa pencahayaan itu nampak sunyi. Gabby segera menyalakan lampu, dan mendapati Maxim yang sudah tertunduk lesu dengan botol bir di sampingnya. "Oh my gosh, Maxim..."

Gabby bergegas mendekati laki-laki itu. Matanya basah dan sedikit meracau layaknya orang yang mabuk berat. "You okay?" Gabby menangkup wajah Maxim dengan kedua tangannya. Sungguh pemandangan yang tak pernah Gabby saksikan sebelumnya. Melihat Maxim seperti ini rasanya menyakitkan.

"Ri?" Air matanya menetes dan wajahnya pucat. "I'm so sorry... please forgive me. Maafin aku udah buat kamu sendiri selama ini..."

Gabby bingung dengan apa yang Maxim katakan. Ia memeluk dan menyandarkan kepala laki-laki itu di pundaknya, lalu mengelus lembut ujung kepalanya. "It's okay, it's okay... forget it Max."

Laki-laki itu menggerakkan tangannya untuk memeluk Gabby dengan erat. Disana ia menangis sejadi-jadinya, hatinya sakit tapi tubuhnya terasa hangat.

Setelah puas meluapkan seluruh air matanya, Maxim mengangkat kepala dan menatap Gabby dalam-dalam. "Maafin aku... selama ini aku udah jahat ke kamu."

Gabby tersenyum sendu, ia menatap Maxim. Bertanya-tanya apa yang sedang Maxim pikirkan? Tangannya terangkat untuk mengusap air mata Maxim yang masih menetes itu. "It's okay, kita bisa bahas ini lain kali. Sekarang udah ya? Kita istirahat dulu."

Laki-laki itu mengiyakan, Gabby menarik lengan Maxim untuk pindah ke ranjang agar Maxim bisa beristirahat dengan nyaman.

Gabby merapikan bantal dan membukakan selimut untuknya. Ia mempersilahkan laki-laki itu untuk segera berbaring. "Kamu tidur ya. Jangan mikir yang aneh-aneh." Gabby menarik lagi selimut untuk menutupi badan Maxim.

Maxim meraih tangan Gabby dengan cepat sebelum gadis itu menjauh. "Ri.. don't leave me."

Lagi-lagi Gabby tersenyum, ia mengiyakan keinginan Maxim. "Tunggu sini bentar ya. Aku ganti baju dulu." Ucap Gadis itu sambil mengusap ujung rambut Maxim.

Maxim tidak bisa berkutik, ia membiarkan Gabby pergi meninggalkannya dan hilang di balik pintu dengan cepat.

Setelah Gabby memastikan pintu telah tertutup, pertahanannya runtuh, ia tertunduk lesu. Gabby tak menyangka jika respon Maxim mengenai permasalahannya ini sangat jauh diluar ekspetasi. Ia tak tahu jika Maxim terlihat lebih frustasi daripada dirinya. Melihat Maxim seperti itu semakin membuat Gabby bimbang. Apakah ia benar-benar peduli atau hanya sekedar merasa bersalah?

SECRET | Mark GiselleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang