Tipsy

20 4 6
                                    

Aku tak lagi mengindahkannya, kulahap makananku dengan cepat. Gugup yang kurasakan semakin terasa karena dia malah mendekatkan tubuhnya saat makan. Tuhan tolong!

"Pak, perasaan ini luas banget yak, kenapa mepet-mepet dah?" protesku.

Sialnya dia seolah buta dan tuli, plus bisu karena tak lagi menjawab protesku, namun dia tak mengubah posisinya. Akhirnya aku yang bergeser menjauh demi keselamatan jantung dan paru-paruku.

"Kenapa?" Dia malah bertanya balik.

"Pak, tulung, ya. Anggap deh emang aku gak peka atau gimana, tapi plis jangan kaya gini. Aku masih tidak ingin terlibat masalah apa pun di kantor nantinya." Kusruput minumanku dengan sedikit kesal.

"Memangnya kamu gak bisa profesional di tempat kerja?" Lah ini pembicaraan mengarah ke mana? Kubalikkan badan dan menatapnya yang malah asik menikmati makanan. "Te, memang ada yang salah kalau misalnya kita punya hubungan?" Dia bahkan bisa mengatakan itu tanpa menatapku.

"Aku pulang deh," gumamku kesal karena dia terus bertanya tanpa mau menjawab pertanyaanku.

"Jangan, aku masih pengen menikmati sore ini. Aku pesenin wine deh," katanya sambil melambaikan tangan memanggil pelayan.

Aku beranjak dari bean bag dan berdiri. Tapi tangannya meraih tanganku dan menarikku duduk kembali. "Aku bilang jangan pulang," katanya tanpa melepaskan tanganku. "Wine satu," katanya begitu pelayan mendekat.

Dia kemudian duduk menghadapku, tangannya masih memegang tanganku. Kali ini jantungku tak bisa kukendalikan. Dadaku sesak tak karuan. "Aku cuma pengen bilang, pedulilah dengan sekelilingmu mulai sekarang. Lihat apa yang terjadi, jangan jadi cewek yang terlalu mandiri, jangan jadi cewek yang tidak tahu ada sesuatu terjadi di depan matamu."

Bentar, dia sedang mengatakan perasaan, atau sedang meledekku? Normalnya seseorang akan langsung mengutarakan perasaannya tanpa berbelit bukan? Aku diam menanggapi lelaki yang mungkin mulai tipsy bahkan sebelum menegak wine.

"Pak, tolong deh. Jangan kaya gini. Anggap aja kau gak bisa mengerti apa yang sedang kamu bicarakan. Apa yang sedang kamu ingin katakan, tapi tolong berhenti di sana." Aku memohon tanpa menatapnya. Karena aku tahu, aku mungkin tak bisa mengontrol perasaanku jika menatapnya.

"Tapi, Te. Aku suka kamu yang kebingungan." Damn, apalagi ini! "Kamu yang seperti malah membuatku semakin gemas." Sial!

Begitu wine pesanannya datang, dia menuangkannya ke gelasku dan gelasnya. "Mari kita nikmati sore ini, Te." Dia menganggkat gelasnya tinggi.

Aku mengangkat gelasku dan menyesapnya pelan. Tangannya bahkan tidak melepaskan tanganku. Pahit dari wine itu tak terasa, karena aku sibuk meredam degup jantung yang tak karuan.

"Te, aku menyukaimu," katanya tiba-tiba, aku menoleh tapi dia sama sekali tidak melihat ke arahku.

"Aku sudah memberikanmu jawaban, Pak. Aku tak bisa." Aku kembali berpaling agar tak runtuh pertahananku.

"Aku tahu, tapi aku tak akan menyerah." Sial! Laki-laki ini bahkan kini terang-terangan mengatakannya.

"Kamu tak apa, kalau anak-anak tahu tentang ini?" Aku mencoba memancing pendapatnya.

"Kenapa? Aku tidak akan mempermasalahkan hal ini." Aku menghela napas mendengarnya, ini berat, ini susah, dan aku tidak bisa melakukannya. Terlalu banyak risiko yang harus kupertimbangkan.

I COFFEE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang