[3]

124 17 0
                                    


Kabin kelas tiga adalah kabin paling sempit yang diisi oleh empat tempat tidur. Kata Boruto, ia sama sekali tidak menyukai tempat itu. Itulah mengapa ia suka berkeliaran dan tidak patuh pada perintah Hinata untuk selalu berada di dekatnya.

Hinata mendesah frustrasi. "Kemana lagi dia?"

Setelah makan malam, Boruto pamit ke luar dengan alasan menikmati angin. Seketika membuat Hinata bersedekap dan berkata menyindir, "apa kau tidak kenyang makan angin, Boruto?"

Bocah pirang itu tertawa. Lalu secepat kilat mengecup pipi ibunya. "Ayolah, Bu, hanya sebentar," rayunya pada sang ibu. Hinata mengiyakan saat itu, namun kini ia agak menyesal ketika putranya tak kunjung kembali ke kabin. Padahal perjanjiannya hanya satu jam. Tidak kurang tidak lebih.

Hinata menyusuri area dek C dengan tergesa-gesa. Matanya yang indah bergerak-gerak mencari keberadaan bocah bersurai pirang di antara kerumunan orang. Hingga ia tidak sengaja bertabrakan dengan seorang wanita berambut pirang terang.

"Astaga, maafkan aku, Nyonya." Hinata menunduk meminta maaf. Ia tidak melihat dengan jelas siapa yang berada di hadapannya. Ia hendak berlalu, namun seketika kakinya terasa membeku ketika ia mendengar suara yang sangat familier itu.

"Tunggu." Wanita itu menahan langkah Hinata. "Kau ... Hinata?"

Netra Hinata membelalak, ia tak mampu berkata-kata. Suara itu mampu menyentaknya menuju jurang masa lalu yang hampir ia lupakan. Degup jantungnya menggila, ia tidak memprediksi sama sekali bahwa ia akan mendapat kejutan seperti ini.

"Maaf, Saya rasa Anda salah orang." Hinata enggan berbalik hanya untuk sekadar menatap wajah itu, dari suaranya yang bernada ketus Hinata sudah tau dengan siapa ia berbicara. Dan sebisa mungkin, ia harus menghindari wanita ini secepatnya.

Pergelangan tangan Hinata mulai terasa dingin, keringat membasahi telapak tangannya. Ia ingin pergi, namun wanita itu mencengkeram lengannya.

"Tidak. Kau Hinata 'kan?" Wanita itu masih bersikeras. Ia maju ke hadapan Hinata. Matanya lekat menatap Hinata dari ujung ke ujung.

Sementara Hinata hanya dapat menunduk dan menghindari tatapan indimidasi dari sepasang netra aquamarine di depannya.

"Maaf, Nona Ino, tapi kita hampir terlambat." Seorang pelayan wanita mengingatkan Ino dengan nada sesopan mungkin.

Ino menatap sekeliling, orang-orang tengah melihat ke arah mereka. Ia lantas mengendurkan tatapan tajamnya. Walaupun ia merasa penasaran dengan perempuan bersurai gelap yang tidak asing dalam ingatannya itu, Ino pada akhirnya melepaskan lengan Hinata. "Baiklah. Kurasa aku memang salah orang."

Setelah berkata demikian, Ino berlalu pergi diikuti oleh ketiga pelayannya. Hinata mencengkram dadanya, jantungnya berdetak begitu cepat. Ia mencoba meraup udara sebanyak mungkin. Rasanya ia sama sekali tidak bernapas di menit-menit yang baru saja terlewati.

Selama bertahun-tahun, ini adalah pertemuan pertama mereka. Di saat daratan sudah tidak terlihat sejauh mata memandang, Hinata pikir ia sudah terbebas dari segala kemelut masa lalunya. Namun ternyata ia salah. Kali ini baru wanita itu yang ia temui, bisa jadi masih ada orang-orang dari masa lalu Hinata yang juga berlayar bersamanya di atas kapal ini.

Hinata melanjutkan langkahnya dengan perasaan yang masih campur aduk. Dalam hati ia berharap Titanic segera merapat di pelabuhan New York sebelum ia bertemu dengan lebih banyak orang dari masa lalunya lagi.

Sementara itu, Ino masih berperang dengan benaknya sendiri. Ia yakin sekaligus ragu bahwa wanita berpakaian lusuh itu adalah Hinata. Pada akhirnya ia memutuskan untuk mencari tahu.

Ia berbisik pada salah seorang pelayannya, "cari tahu apakah di kapal ini ada penumpang bernama Hyuuga Hinata."

~~~

My Love In The Sea [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang