Hampir seminggu ini keadaan kos runyam. Tak ada obrolan berarti seperti biasanya. Barra juga tak pernah menampakan dirinya di kos lagi. Aruni dan Kayla menjadi bingung dengan suasana kos. Aruni sudah berulang kali bertanya kepada Henry ataupun Farhan, tetapi tak ada jawaban jelas yang diberikan oleh keduanya.
"Kira-kira mereka kenapa, sih?"
Kayla masih fokus pada laptopnya saat Aruni bertanya.
Mereka berdua sekarang di dalam kamar Kayla. Aruni tadi mengetuk pintu kamar Kayla dan meminta izin agar dia boleh masuk.
Malam ini, tak ada teriakan dari lantai bawah agar makan malam bersama ataupun sekadar berkumpul di ruang depan, menceritakan hal-hal random yang dialami seharian. Bukan hanya malam ini, tapi juga malam-malam sebelumnya semenjak kejadian Barra memukul Farhan.
Tak ada yang tau bahwa Barra memukul Farhan, kecuali Farhan dan Barra sendiri. Benar-benar tak ada yang tau.
Farhan memilih untuk memendamnya sendiri, sedangkan Henry juga tak lagi berbicara dengan Farhan, kecuali ditanya.
Kayla menghela napas berat, berhenti mengetik dan memindahkan laptop dari pangkuannya. Ia menatap Aruni yang menunduk dengan wajah sedih.
"Lo belum tau masalahnya, Run?" tanya Kayla.
Henry memang sudah menceritakan kepada Kayla tentang Farhan yang memarahi mereka, dan penyebabnya adalah Aruni. Namun, Kayla belum tau masalah sepenuhnya—hanya sepotong dari Henry.
Aruni menggeleng lemah. "Kak Kayla tau masalahnya? Masalah apa, sih?"
Henry sendiri meminta agar Kayla tak menceritakan semuanya kepada Aruni, supaya gadis itu tak merasa bersalah. Ini semua sepenuhnya bukan salah Aruni.
Kayla menggeleng. "Eh, mereka cuma ada masalah dikit, kok." Ya, Kayla juga pikir begitu. Hanya masalah kecil. Ia tak berpikir akan menjadi seperti ini—sampai-sampai Barra tak pulang hampir seminggu.
"Masalahnya Kak Barra aja enggak pulang-pulang. Atau Kak Barra pulang ke Semarang kali, ya?"
Kayla mengendikan bahu. "Ke bawah, yuk. Gue tau siapa yang bisa berhentiin masalah mereka."
Aruni mengernyit. Ia memandang Kayla bingung lantas bertanya, "siapa, Kak?"
Jari telunjuk Kayla terangkat, mengarah tepat ke Aruni. Aruni menatap jari telunjuk Kayla lantas menunduk, menatap dirinya sendiri. "Aku?" tanya Aruni sementara Kayla hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Kok aku?" tanyanya masih dalam kebingungan. Gadis SMA tersebut pun berdiri, seakan menyingkirkan kebingungan yang mampir sejenak di pikirannya. "Tapi, ayo ke bawah." Senyum ceria Aruni kembali muncul di wajahnya, seperti biasa.
Kayla memandangi gadis di depannya ini kebingungan. Namun, segera ia enyahkan dengan anggukan kepala sekali, menyetujui ajakan Aruni. Kayla membuka pintu kamarnya lantas keluar dari kamar diikuti Aruni. Setelah menutup pintu kamarnya, mereka berdua turun ke bawah.
Di ruang depan, tak ada orang sama sekali. Tak ada eksistensi penghuni kos lainnya.
Aruni mendesah pelan kala mendapati ruang depan yang kosong. Biasanya, di sini—setidaknya—ada Henry atau Barra yang sedang menonton televisi sambil sesekali berdebat pasal tim sepak bola kesukaan mereka, atau mungkin Farhan yang sedang mengerjakan laporan dan keluar untuk meredakan otaknya yang hectic.
Kayla beranjak menuju kamar Henry, mengetuk pintu, tetapi nihil. Tak ada jawaban dari dalam kamar.
Ketukan berikut, tetap tak ada jawaban. Pintu kamarnya pun tak terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Huru-hara Satu Atap
Teen FictionDapat teman kos kayak keluarga sendiri? Well, mereka lebih dari teman kos. Mari berkenalan dengan Henry si paling jahil, Kayla yang tak suka basa-basi dan introvet tingkat dewa, Aruni si polos dan anak mami, Farhan pekerja keras yang sayang adik, d...