I broke you, baby, 'cause I love you the most

64 15 1
                                    


Museum kampus ramai oleh puluhan mahasiswa dari dua kelas. Aku dan Vincent datang membawa buntelan kami masing-masing, yang sempat teronggok rapi di jok belakang mobilku. Saat kami datang, aku tahu orang-orang sudah tak sabar untuk melihat mahakarya Vincent lagi.

Heh. Aku sudah tahu. Dan itu memang sebuah mahakarya.

Bedanya, saat Vincent membuka buntelan kainnya, aku tidak lagi melonjak kaget. Aku hanya menyeringai, antara jengkel dan memang mengakui kehebatannya.

"Sial. Kau yakin itu bukan potongan tangan seorang albino?" celetuk Ronald mencemooh.

Aku tertawa. "Andai aku tidak mengawasinya mengikir sabun, aku pasti akan mengira hal yang sama."

Kukira Ronald bakal tertawa juga, tetapi ia hanya memutar bola mata. Ia mengambil buntalan kain dari dalam tasnya, yang sedari tadi ia bawa dengan begitu berhati-hati sepanjang di kampus.

"Apa yang kau buat setelah berguru padanya?" ejeknya lagi.

Segera kulepaskan ikatan kain pada kikiran sabunku. Saat muncul tiruan otak yang lumayan bagus, kawan-kawan sekelas spontan ber-oh ria.

"Kemajuan besar, Hayward!"

"Memang benar," komentar seseorang. "Hanya seniman Italia yang bisa mengubah bocah Harvard tersesat menjadi calon seniman."

Aku tidak marah kali ini. Toh teman-teman tertawa, dan mereka juga memuji hasil karyaku, jadi aku cukup senang dengan itu. Namun aku belum puas. Belum.

Sampai aku mendapatkan apa yang kuinginkan untuk menyenangkan hati Ayah dan masuk ke Harvard secepat mungkin, aku takkan puas.

Ronald akhirnya mengurai ikatan kainnya.

Sedikit di luar dugaan, ia hanya membuat patung tangan dengan jari tengah yang sangat panjang.

Aku spontan mendengus geli. Namun Ronald tidak bereaksi serupa. Ia mengacuhkanku dan ini membuatku spontan menegang.

Hei, apa salahku? Apa karena aku tidak membelikannya cokelat panas hari ini?

Gara-gara itu kuputuskan untuk mengajaknya makan di kantin selepas kuliah Senin berakhir, tetapi Ronald menolak. Dia menghilang dengan cepat. Ini mengingatkan dengan caraku menghindarinya minggu lalu, dan perasaanku jadi tidak nyaman.

Aku membelikannya cokelat panas lagi keesokan hari, tetapi Ronald langsung tidur setibanya di kelas. Aku tidak tahu apakah ia menghabiskan minuman itu atau membuangnya karena ia membawanya keluar kelas setelah kuliah usai.

Aku juga tidak berani tanya. Ekspresi Ronald muram akhir-akhir itu, jadi kuputuskan untuk diam saja. Selama ia tidak menyentakku, maka aku takkan mengatakan apapun. Walau sejujurnya ini membuatku kembali ketakutan. Aku tidak mau jadi musuh Ronald, tetapi menghadapi orang yang keras seperti itu secara langsung membuat lututku lemas.

Otomatis aku pun hanya mengobrol dengan Vincent setiap hari.



"Kenapa kau terlihat payah?" Vincent menyodorkan sebotol cola kepadaku.

Hari ini, di Kamis yang mendung dan basah, kami terlihat berkebalikan. Aku seperti orang yang begadang mengerjakan esai penelitian selama tiga hari sementara ia sangat segar. Kendati lingkar hitam tak pernah beranjak dari matanya, dan kupikir itu memang permanen.

Aku menghela punggung dari dinding studio lukis yang kusandari sejak tadi, mengerjapkan mata, lantas menerima pemberiannya.

"Aku tak bisa tidur." Aku mendesah usai meneguk cola tersebut. Ini satu-satunya yang bisa kuminum, dan Vincent sudah tahu itu. Ia tak pernah memberiku anggur lagi.

The MuseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang