BAB 1 Pertanyaan Ibu Mertua

45 8 0
                                    

Inara duduk melamun di sofa ruang tengah. Sudah jam satu pagi namun suaminya belum juga tampak batang hidungnya. Wanita itu sangat khawatir, sudah berulang kali ia menelfon sang suami namun tidak ada jawaban sama sekali.

Bukan kali pertama Dafa seperti ini. Lelaki yang sibuk dengan urusan kantornya itu akan memberi kabar jika pulang larut malam atau lembur hingga pagi. Hal itu semakin membuat raut wajah khawatir Inara sudah tak karuan ketika tidak mendapatkan kabar apapun dari Dafa, suaminya.

Ceklek

Inara memalingkan wajahnya secepat mungkin setelah mendengar suara pintu depan yang dibuka. Ia berdiri dan melangkah cepat menghampiri suaminya yang baru saja tiba di rumah.

"Inara? Kamu belum tidur?" Tanya Dafa menatap bingung sang Istri.

"Kamu kemana aja, mas?" Tanya Inara dengan suara lembut sambil mengambil alih tas kantor dan jas di tangan Dafa. Walaupun berbicara dengan nada lembut, tidak dapat dipungkiri jika Inara merasa sedikit kesal pada Dafa yang tidak mengabarinya sama sekali dan malah bertanya dengan raut wajah polos tanpa dosa seperti itu.

"Maafkan mas, Inara. Ada pekerjaan mendadak yang harus mas selesaikan segera sehingga tidak bisa mengabari kamu." Sesal Dafa. Tangannya mengelus lembut rambut panjang sang istri yang selalu tergerai indah jika wanita itu sedang berada di dalam rumah.

"Aku sangat khawatir," Kata Inara. "Mas mau makan? Biar aku panaskan makanan."

"Tidak perlu, mas mau langsung tidur." Jawab Dafa. Lelaki itu langsung berjalan masuk ke kamar mendahului Inara.

***

Inara tampak cekatan dalam menyiapkan sarapan pagi untuk Dafa. Walaupun hanya sekedar roti dan secangkor kopi, namun Inara melakukan tugasnya sebagai istri dengan sebaik mungkin. Jika Dafa terbiasa sarapan pagi tanpa nasi maka Inara harus sarapan pagi dengan nasi, semisal nasi dengan sayur sop kesukaannya.

Dafa duduk ditempat yang biasa ia tempati dengan Inara didekatnya.

"Mas," Panggil Inara sambil memperhatikan Dafa yang sibuk dengan ponsel.

Dafa beralih menatap Inara yang selalu cantik dengan balutan hijab dan gamis panjangnya, sesaat lelaki itu terpukau melihat kecantikan alami dari istrinya itu. Setelah tersadar, Dafa menaikkan sebelah alisnya seolah bertanya 'apa?'.

"Besok mas libur kantor, kan? Mas bisa temenin aku ke rumah ayah dan bunda?" Tanya Inara.

"Iya, besok mas akan temenin kamu." Jawab Dafa kemudian mulai memakan sarapannya.

Setelah sarapan, Dafa langsung izin berangkat ke kantor. Sedangkan Inara, wanita itu membersihkan rumah dan mencuci piring yang sempat mereka gunakan. Inara tidak sendiri, di rumah mewah berlantai dua ini ada tiga pembantu yang selalu membantu Inara.

"Bi, Inara mau ke butik sebentar ya. Udah lama Inara nggak kesana." Kata Inara pada bi Siti, wanita paruh baya yang sudah lama mengabdi di keluarga Dafa.

"Baik, nyonya." Jawab bi Siti.

"Kalau begitu, Inara siap-siap dulu." Inara tersenyum manis pada bi Siti sebelum pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap.

Hari ini, Inara mengenakan gamis coklat sederhana ditambah balutan hijab hitamnya. Penampilan wanita itu memang cukup sederhana, namun sama sekali tidak melunturkan kecantikan dan wibawa Inara. Malahan, penampilan Inara dianggap simple dan elegant secara bersamaan.

Wajah cantik Inara tidak dipakaikan bedak yang tebal. Wanita itu hanya mengoleskan sedikit lip gloss di bibirnya agar tidak terlihat pucat. Inara melihat penampilannya sekali lagi di depan cermin. Merasa sudah siap, Inara langsung keluar dari kamar.

Hujan di Jendela HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang