Seorang cowok berlari kencang di koridor sekolah tanpa mempedulikan tali sepatunya yang lepas, ia tidak sadar ada seseorang yang berjalan santai dari arah depan dan tampak fokus pada ponsel di genggaman tangan. Alhasil dua cowok itu bertabrakan karena tidak saling lihat jalan.
Bruk
Bunyi yang dapat dirasakan sakitnya.
Aksa terdorong dan jatuh ke lantai, sementara cowok satunya tetap berdiri tapi sambil memegangi tangan yang terasa ngilu akibat tabrakan.
"Sia—Aksa?"
Tentu Aksa menoleh mendengar namanya disebut.
"Astaga, lo nggak papa?"
Aksa menggeleng sembari memeriksa tangan yang tergores kecil. Si cowok lalu mengulurkan tangan, Aksa menerimanya dan bangkit.
"Maaf Ken, saya tidak sengaja."
"Harusnya gue yang minta maaf, gue jalan nggak liat malah fokus main hape. Btw lo dari mana kok kayak dikejer setan gitu?"
Aksa mengamati koridor di belakang, suasana sudah sepi karena bel pulang berbunyi beberapa menit lalu.
"Gimana kalo kita ke warung depan sekolah aja? Sekalian dah lama juga nggak nongkrong berdua." Tawar Keno membuat Aksa langsung menganggukkan kepala. Keno merangkul pundaknya dari samping.
Mereka pun melangkah keluar dari gerbang sekolah dan melipir ke sebuah caffe romantic pinggir jalan. Aksa tidak membawa tasnya, Keno tahu itu. Ya, bukan hal baru bagi Keno untuk tidak menanyakan ke mana perginya tas Aksa. Tentu saja berada di kelas Seni-nya. Aksa kerap meninggalkan tasnya di sana saat pulang, kadangkala saja sih tidak selalu. Alasannya unik, karena Aksa merasa di dalam tasnya tidak ada barang berharga selain buku-buku yang ia bawa.
Cowok itu tidak bingung mengenai jadwal lantaran para guru sudah paham kebiasaanya. Tidak masalah selagi Aksa tetap belajar di sekolah dan menang banyak penghargaan.
Itu kelebihan menjadi anak orang terkenal ya?
"Pesan apa, Mas?" tanya seorang karyawan caffe sesaat setelah keduanya duduk di salah satu meja teras.
Keno melirik Aksa, seolah bertanya.
"Kopi saja." Jawab Aksa.
"Oke. Macchiatto deh, dua ya Mbak." Jawab Keno diangguki wanita itu.
"Ditunggu ya ..."
Keno mengangguk, kemudian menjatuhkan fokus pada Aksa lagi. Cowok itu tidak banyak berubah sekarang, selalu rapi, tampan, bahkan aroma parfumnya mengingatkan Keno pada hujan di malam hari. Menenangkan. Senyumannya pun tak kalah indah, sampai Keno terhipnotis sekian detik.
"Gila ya Sa, dah lama nggak ketemu kita. Terakhir ketemu pas SMP kelas dua. Lo juga masih sama kayak dulu, kalah ganteng nih kayaknya gue."
Aksa tersenyum.
"Gimana rasanya sekolah di negeri orang?"
"Tidak ada rasanya, sama saja."
Keno mangguk-mangguk.
"Oh iya, lo belum cerita kenapa lo lari-lari tadi."
Aksa mnggaruk pelipisnya. "Harus ya?"
"Iya." Jawab Keno semangat.
Sebelum benar-benar menceritakan semua kejadian yang ia alami, cowok itu terlebih dulu menarik napas dalam. Dan mulai menyebutkan segalanya secara jelas.
"Apa? Berdua?!" Keno menyemburkan tawa saat itu juga. Aksa menunduk merasa canggung–ah, tepatnya malu. Ini waktu langka yang sengaja semesta luangkan agar mereka bisa mengobrol setelah berpisah sekitar empat tahun. Dan harus disambut pembicaraan mengandung aib begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable |End|
Teen FictionIneffable adalah sesuatu yang melampaui kemampuan bahasa untuk mengungkapkannya. Arti lain adalah "tak terlukiskan". Ada banyak kisah yang ditulis di cerita ini, salah satunya Abel. Gadis berkulit sawo matang yang tidak percaya akan cinta. Abel piki...