revisi 15/3
Kekayaan. Kemakmuran. Penghormatan.
SMP Old-Shire didirikan sebagai benteng para pebisnis untuk melindungi mereka dari pengawasan pemerintah. Yayasan khusus yang dibangun di mana generasi penerus diperkenalkan pada dunia diatas birokrasi dan ramah tamah.
Di antara koridor-koridor yang mewah dan aula yang dihiasi mahal, Ao dan Guren selalu mencuri perhatian. Keduanya adalah teman sekelas, tetapi takdir mereka di Old-Shire sangat berbeda.
Ao, dengan setelan seragam yang mahal dan rambutnya yang berkilauan, selalu menatap sinis ke arah ayahnya yang duduk dengan santainya di kursi empuk, sambil memakan pisang dengan kepuasan yang mencolok. Baginya, kedudukan itu hanyalah simbol kemalasan yang menyedihkan, tapi apa yang bisa dilakukan? Itu adalah harga yang harus dibayar untuk menjadi bagian dari keluarga berkuasa.
Sementara itu, Guren Kurogane, 'orang asing' yang diadopsi oleh ayahnya, hidup dalam bayang-bayang tugas sebagai anjing sang ayah. Ia sering membolos saat ujian, tertidur di kursi belakang mobil mewah keluarga Kurogane ketika dia harus bertugas membantu ayahnya. Itu berarti ia sering kali tertinggal pelajaran dan terjebak dalam kebodohan yang menyedihkan.
Di tengah aroma kayu mahoni dan ketegangan yang terasa, suasana di aula berubah dramatis. Ayah Ao, duduk dengan sikap yang angkuh, merasa dirinya sebagai raja kecil di atas takhtanya yang empuk. Namun, di ujung ruangan, Guren dengan rendah hati berlutut, mencium kaki ayahnya yang bau dan keriput.
"Pohon besar melindungi buah yang baik," kata ayah Ao dengan suara yang penuh dengan kepuasan. "Dan buah itu harus selalu bersyukur kepada pohonnya."
Ao menggertakkan giginya dengan kebencian, menahan rasa jijik yang hampir tak tertahankan. Baginya, tindakan Guren hanyalah aksi berlebihan yang memprihatinkan.
Tidak ada yang lebih kesal ketika kehidupan sehari-hari Guren menjadi semakin mencolok. Meskipun Guren hadir di sekolah dengan seragam yang menguning dan tubuhnya semakin gemuk setiap hari, kehadirannya sangat berbeda dari murid-murid kaya yang lain. "Dia semakin membuatku muak bahkan tanpa melihatnya," celoteh Ao.
Sementara itu, di sudut ruangan, Ao memperhatikan beberapa pengawal ayahnya dengan curiga. Mereka selalu mengawasi setiap langkahnya, seolah-olah mereka sedang menunggu sesuatu.
Tiba-tiba, suara keras sang ayah memecah keheningan ruangan. "Pergilah, kalian akan terlambat!" bisiknya tegas.
Dalam sekejap, beberapa pengawal itu bergerak serentak, meninggalkan ruangan bersama Guren yang berdiri di antara mereka. Tatapan kelaparan yang hampir memelas terpancar dari mata Guren saat ia melewatinya, mengira bahwa Ao memiliki belas kasihan.
"Buang saja orang itu, ayah," ucap Ao, mencoba menekan perasaan takut dan kebingungannya.
Tapi jawaban ayahnya menghantam Ao seperti cambukan. "Setelah aku membunuhnya atau dia tidak berguna lagi, pilih yang mana?" Jawab sang ayah dengan dingin.
Dan saat Guren dan para pengawal itu menghilang dari pandangan, Ao masih bisa merasakan tatapan Guren menusuk punggungnya.
***
Ao dan Nora duduk bersama di ruang TV, sambil memeriksa perlengkapan sekolah baru Nora. Ao meneliti struk belanjanya, merasa pening saat melihat total uang yang sudah dikeluarkannya. Padahal, biaya untuk perlengkapan sekolah Ao saja belum sebanding dengan apa yang dia belanjakan. Bagi Nora, yang terbiasa dengan kehidupan sederhana, setiap pembelian terasa istimewa. Wajahnya masih cerah, tetapi dalam hatinya merasa tidak adil.
"Wow, aku tidak tahu kalau menjadi murid SMP akan memerlukan semua ini," ujar Nora.
Ao mengangguk, "Berbeda dengan SD, di SMP kau akan diminta menunjukkan minatmu pada kegiatan sekolah."
YOU ARE READING
Good Boy Gone Bad
RomanceSetelah sang ayah bangkrut, Ao harus menghidupi dirinya dan berlindung dari kejaran penagih hutang ayahnya. Namun, bagaimana mungkin ia bisa melupakan Guren, peliharan ayahnya yang paling setia menjadi penyebab kehancuran hidupnya. Peliharaan tetapl...