31. ʟᴀᴠᴀ ʙᴇʀᴀᴩɪ

0 0 0
                                    

"Mungkin aku hanya sebagai Tingkerbell di antara Peter dan Wendy, atau Kurcaci di antara Snow white dan pangeran."

★•°

Hari minggu ini aku akan menghabiskan waktu di rumah, setelah lelah seharian bermain bersama Atlas kemarin.

Aku membuka lemari es untuk mengambil air dingin di dalamnya, sebelum akhirnya pergi ke halaman belakang rumah untuk bercocok tanam. Sebenarnya bukan bercocok tanam, hanya menyiram bunga yang ku tanam bersama ibu dulu.

Ada banyak bunga warna warni, aku tidak tau apa saja namanya. Yang aku tau hanya bunya mawar putih dan tulip orange, selebihnya.. Entahlah aku tidak tau dan tidak mau tau.

Setelah menyiram bunga, aku duduk di sebuah ayunan di sisi taman. Biasanya kalau malam, di sini akan ada banyak kunang-kunang serta suara jangkrik yang mengiringi.

Ku hirup udara pagi dalam-dalam, hembusan angin menerpa yang membuat rambut panjang ku yang tergerai terhempas bebas. Langit biru cerah tanpa awan mendominasi, terdapat sebuah garis putih panjang di atas sana akibat pesawat jet yang melintas. Bunga-bunga yang sudah tumbuh bergoyang ke kiri dan kanan mengikuti arus angin sepoi-sepoi, rasanya begitu tenang.

Suara bel terdengar nyaring di seluruh rumah menghentikan aktivitasku yang sedang ber-ayun-ayun dengan tempo lambat, aku berdiri menuju pintu depan. Ku pikir seseorang yang datang itu adalah Atlas melainkan Jay yang berdiri di hadapanku dengan sebuah cengiran.

Aku terkejut bukan main "dari mana kamu tau ini rumahku!"

Lelaki itu terkekeh pelan "rahasia!"

Aku menatapnya sinis dari ujung mataku, anak menyebalkan ini baru saja mengganggu minggu pagiku.

"Uhh sial, apa yang membawa dirimu kesini?" aku tidak habis pikir, sungguh. Ini benar-benar menyebalkan, apa lagi ketika melihat raut wajahnya yang terus cengar-cengir tidak jelas.

"Jutek sekali, aku hanya ingin berkunjung" Jay mencebikkan bibirnya dengan kedua alis terangkat, lelaki itu bersender di samping pintu "aku bawakan es krim, ayo makan bersama!" tangan kirinya terangkat dengan sebuah kantung kresek berwarna putih. Tidak mau menyia-nyiakan es krim dan menghargai sikap baiknya, aku mempersilahkannya masuk dan langsung menuju dapur.

"Kamu sendirian?" , aku msngangguk menanggapi. Tanganku masih sibuk membuka plastik es krim vanila kesukaanku, ini kebetulan atau dia memang tau kesukaanku?

Sepertinya Jay juga tidak mengetahui tentang kematian ibu, tapi sepertinya itu semua salah karena "aku turut berduka cita" dia mengetahuinya.

Netra hitamnya menatapku dalam, tatapannya kali ini sangat berbeda dari biasanya. Aku mengalihkan pandang darinya karna sampai sekarang anak itu masih terus menatapku dengan sorot mata sayu.

Aku tersenyum simpul "eumh yeah.. Terima kasih"

Terjadi keheningan di antara kami, aku merasa sedang dalam posisi yang sangat canggung sekarang. Dimana Jay yang selalu mengoceh? Di mana Jay yang tidak tau malu?

Namun semua itu lenyap sampai akhirnya aku berteriak "JAY, ES KRIM MU MELELEH!"

Anak itu terperanjat kaget lantas menoleh ke arah es krimnya dengan wajah panik, aku berlari menuju ruang tamu dan mengambil sekotak tisu. Beberapa menit berlalu, kami sama-sama sibuk dengan es krim milik Jay yang meleleh "maaf kan aku, meja nya jadi lengket" jari telunjuknya mencolek meja yang terkena tumpahan es krimnya tadi.

"Tidak apa, jangan permasalahkan"

•••

"Jadi.. Kenapa kamu ke kota?" aku bertanya padanya yang sedang melihat-lihat foto kecilku yang terpajang di atas meja, sementara aku duduk di atas sofa sembari melipat kedua tangan dan kaki kiri sepagai penopang kaki kanan.

Anak itu berbalik, menyenderkan tubuhnya pada meja yang tingginya sepinggang lelaki itu.

"Ada urusan keluarga"

Aku mengangguk "kamu.. Punya rumah di daerah sini?" aku kembali bertanya. Mempertanyakan hal yang sudah lama bersarang di kepalaku. "Emm, iya. Sebenarnya aku juga dari kota, sama seperti mu"

Tunggu, benarkah? Pantas saja Jay memiliki sifat sekena nya.

"Kalau ada urusan keluarga kenapa malah main ke rumah ku?" aku menaikkan sebelah alisku, masih bingung dengan yang terjadi sekarang.

Jay datang secara tiba-tiba tanpa sebab dan alasan, bahkan dia tidak memberi tau ku dari mana anak itu mengetahui rumah tempatku tinggal. Apa dia bertemu dengan Atlas dan bertanya padanya?

Tidak mungkin.

"Aku lagi kabur"

"Oh jadi kesini karna sebuah pelarian dari 'urusan' ?" aku mengangkat kedua tanganku sembari mengerakkan kedua jari yang membentuk huruf V.

Dia mengangguk dengan sebuah cengiran khasnya, menyebalkan.

"Astaga, kamu menghancurkan minggu pagiku! Sekarang kamu mau ngapain di rumah ku?" aku memijat pelan pelipis ku, rasanya benar-benar pusing.

Jay tersenyum masam, ia merogoh ponsel dari dalam saku celananya. Mengotak-atiknya sebentar lalu mendongak menatapku "baiklah, aku akan pergi. Terima kasih jamuannya"

Aku mengernyitkan dahi, sejak kapan aku memberinya jamuan? Sejak kapan juga aku menyambutnya dengan terhormat bak tamu yang di ibaratkan sebagai raja?

Jay keluar dari rumahku secara tiba-tiba, sungguh, kebiasaan buruknya. Di mana sopan santun anak itu?!

Aku menutup pintu, menghela nafas panjang sebelum menghembuskannya.

Pintu kamar baru saja ku buka, pandanganku tertuju pada sebuah gulungan kertas yang sedari kemarin masih tergeletak di sana. Sejujurnya aku ingin membuangnya beserta gulungan-gulungan yang lainnya, mungkin jika aku buang tidak ada lagi yang akan menerorku. Tapi, jauh dari lubuk hati ku yang terdalam, ada sesuatu yang mengharuskan ku untuk menyimpannya.

Entah apa itu.

***

Ada yang mau di tanyain dengan Azura?
Atau aku?
Atlas?
Jay?
Annalice?

Stay tune ya guys, jangan pernah bosan baca cerita ini.

Menceritakan tentang kisah dua anak yang memiliki kesukaan yang sama, yaitu penyuka langit dan seisinya.

Menceritakan tentang persahabatan dua anak yang di juluki sebagai seorang Astrophile.

Azura 🍦

Universe SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang