"Lo di mana?" Gadis itu menggenggam ponselnya dengan erat.
Matanya memerah dengan rasa panas yang memancing air mata. Kirania mengusapnya dengan kasar sebelum terjatuh ke pipinya. Ayah dan bundanya baru saja meninggalkan kosnya untuk berpindah ke hotel yang sudah dipesankan oleh Kirania karena hari sudah malam. Bagaimana pun juga, Kirania tidak tega jika harus membiarkan ayah dan bundanya tidur di kosnya malam itu.
Meuthia mengeluhkan kamarnya yang sempit dan juga kurang nyaman jika dirinya dan sang suami tidur di sana. Kirania membenarkan hal tersebut. Di satu sisi, dia merasa malu karena sebagai anak sulung dirinya belum bisa memberikan fasilitas yang baik bagi kedua orang tuanya saat mereka datang ke kota besar itu. Kirania pikir ayah dan bundanya ke sana untuk sekedar mengambil laptop untuk kedua adiknya. Ternyata mereka berdua juga ingin menjenguknya.
Kirania semakin didera rasa bersalah bercampur rasa iri hati yang masih bercokol di hatinya. Di tangan kirinya dia membawa kotak makan yang berisi daging rendang dari Meuthia. Dia juga membawa tiga buah apel dan dua buah pir di dalam kantong plastik. Dia meletakkan buah-buahan itu di kursi yang ada di sampingnya.
"Gue ada di bar. Kenapa?"
Kirania menghela napas dalam setelah mendengar suara laki-laki di ujung telepon. "Ayo makan bareng gue di warteg dekat kos!" ajaknya tanpa pikir panjang.
"Tapi gu-"
"Gue tunggu di kos!" Kirania dengan cepat memutus sambungan telepon dan menyimpan ponselnya ke dalam tas ransel kecil yang ia bawa.
Dia menghela napas dalam. Gadis itu mengusap wajahnya dengan sedikit kasar dan meletakkan kotak makan tersebut di atas meja. Dia menunggu Cakra di sana, di ruang tamu kos yang sepi. Perasaannya selalu saja begini. Semuanya campur aduk dan sering membuatnya muak.
Gadis itu menyandarkan kepalanya pada kepala kursi dan menatap pintu gerbang kos yang terlihat dari tempat dia duduk. Dia menunggu dengan tidak sabar. Decakan demi decakan keluar dari bibirnya. Rasa laparnya memang harus segera dituntaskan dengan memakan sesuatu tapi matanya yang lelah nampaknya tidak membiarkan kesadarannya tetap utuh. Matanya berkedip lemah. Detik jam di dinding terdengar bagai alunan musik penghantar tidur yang indah. Gadis itu jatuh terlelap hanya dalam hitungan detik ke sepuluh.
Di saat Kirania tertidur dengan lelap di kursi ruang tamu kosnya, Cakra tiba di sana. Pemuda itu duduk diam di dalam mobilnya sambil menggenggam ponsel. Dia mencoba menelepon Kirania yang sudah ia tunggu sejak sepuluh menit yang lalu.
"Ketiduran," gumamnya menebak.
Tak lama berselang, Kirania muncul. Gadis dengan mata setengah mengantuk itu berjalan mendekati mobil Cakra dan tersenyum lebar. Dia segera membuka pintu di bagian penumpang dan duduk dengan suara tawanya yang sudah sangat dihafal oleh Cakra.
"Lo lama banget! Hampir gue tinggal barusan," kata Cakra kesal.
"Gue ketiduran," sahut Kirania sambil tersenyum lebar. "Maaf, ya!"
"Dua kali lo bikin gue nunggu, Ki. Sekali lagi lo begini, gue nggak mau lo suruh ke sini lagi!" Cakra kemudian melajukan mobilnya.
"Cuma begitu aja lo ngambek. Gimana kalau lo jadi pacar gue terus gue ketahuan selingkuh, ya?" Kirania berbicara dengan nada santai.
"Gue nggak mau jadi pacar lo. Gue pasti bakal menderita lahir dan batin kalau sampai jadi pacar lo!" Cakra bergidik ngeri.
Kirania melirik Cakra dengan sinis. "Gue sumpahin lo jadi perjaka tua!" kata Kirania tak terima.
"Doa lo jelek banget!" Cakra mendengus dan menggelengkan kepala.
Kirania tertawa kecil. "Bercanda! Eh, tadi lo ke bar sama siapa? Lain kali gue ikut lo tapi kalau gue habis gajian aja. Soalnya gue masih ada utang sama lo. Mau hedon sering-sering tapi gue nggak enak sama lo." Kirania menatap jalanan di depan mereka dengan mata berbinar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Sendu
RomanceKirania pikir, menjadi sahabat dari seorang Cakra Aryasatya Wijaya saja sudah cukup. Kenyataannya, seiring berjalannya waktu, perasaannya tumbuh dan semakin lama semakin mencekik. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke...