Dengan perlahan Darsa merebahkan punggungnya pada ranjang kesayangan yang ada di kamar apartemen milik Pradika. Setelah penampilan spektakuler tadi, tenaga Darsa sangatlah terkuras hebat sehingga ia ingin menenangkan diri bersama orang-orang yang Darsa percaya. Ia tidak mau pulang ke apartemen miliknya, dan ia memilih ikut ajakan Pradika.
Kedua gedung apartemen Pradika dan Darsa memang saling berseberangan, namun bisa dilihat perbedaan yang sangat mencolok. Milik Pradika tampak lebih megah dan mewah, sementara Darsa hanyalah apartemen biasa nan sederhana.
Kadangkal Darsa kerap terkagum oleh ornamen yang ada pada kamar Pradika, tapi hal itu tidak membuat dirinya iri atau menumbuhkan keinginan untuk memiliki apart seperti itu. Bagi Darsa, sudah diberikan fasilitas apartemen miliknya saja sangatlah disyukuri.
"Makan, Dar?" tawar Pradika.
Darsa menggeleng lemah, belum memiliki tenaga untuk banyak bicara, padahal acara sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Darsa setia memandang langit kamar Pradika yang dipenuhi oleh interior bunga berwarna abu, entah bunga apa yang mereka pasangkan ini, Darsa tidak bisa menebaknya.
Selain mengajak Darsa, Pradika juga membawa Rega agar bisa makan siang bersama. Kemilo beralasan ingin kencan bersama kekasih, sementara Herawan dipanggil ketua BEM pada pukul satu siang tadi—mungkin dikarenakan Herawan berhalangan hadir pada rapat hari ini.
"Bang, kalau Bang Hera dimarahin sama Kak Leon gimana, ya?" celetuk Darsa tanpa aba-aba.
Rega yang tengah memainkan piano pribadi Pradika pun menghentikan permainannya. "Ah, kagak. Palingan Hera dipanggil karena ada tugas baru, Dar."
"Tapi, karena gue Bang Hera sampai rela absen gak ikut rapat penting itu." Darsa bangkit terduduk. Menghela napas panjang setelahnya seperti ada beban yang tengah ia pikul. "Gue dari dulu cuman nyusahin—"
"Heh, udah, jangan mikir yang macem-macem," potong Rega mengelak Darsa. Rega hanya tidak ingin kesehatan kawannya menjadi drop kembali jika harus memikirkan sesuatu yang seharusnya bukan menjadi masalah besar.
"Lo udah sarapan? Pasti belum. Ini udah mau jam dua, makan dulu yuk?" Pradika kembali menghampiri kamar, terhitung sudah menjadi tawaran kesembilan.
Entah mungkin kesabaran yang sudah habis, Rega secara cepat melempar bantal di dekatnya ke arah ambang pintu. "Lo gak ada pertanyaan lain apa, selain makan?"
Pradika mengerutkan keningnya solah berpikir, untuk lebih berkesan jemari lelaki itu juga menempel pada dagu. "Oh, ada! Hari ini mau makan apa?"
"PRADIKA!"
Pradika sontak lari terbirit-birit untuk menghindari amukan Rega yang semakin memuncak, sementara Rega juga langsung mengejar Pradika agar tidak mengulang hal yang sama lagi—kembali masuk ke kamar dan bertanya untuk kali kesepuluh.
Darsa hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah kawannya, sudah biasa bagi Darsa menghadapi dua orang yang seringkali bertengkar dan tidak sadar akan usia itu.
Berhubung sudah dalam posisi duduk, Darsa seharusnya beranjak menuju dapur untuk membantu kedua kawannya menyiapkan makan siang. Namun, jiwa sodial Darsa belum seutuhnya terkumpul meski dalam cakupan kawan dekat, maka ia memilih untuk memejamkan mata sejenak seraya berpikir cara seperti apa untuk menumbuhkan kepercayaan mentalnya.
"Interaksi sama Jenafrens, bagus kali ya."
Ide tersebut muncul ketika getar ponselnya terasa di bagian saku celana, saat dilihat ternyata ada notifikasi kutipan pesan dari twitter pribadinya. Jenafrens adalah sebutan untuk penggemar Darsa yang menyukai Jenaka (nama panggung Darsa), entah mengapa meski mereka tidak mengenali wajah Jenaka yang sesungguhnya, mereka tetap setia mendukung Darsa dari balik layar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melodi yang Hilang [Tamat]
Teen FictionJenaka, dia kembali berbohong. Senyumnya tak setulus senyum hari ke belakang. Dia juga menggantungkan nasib terhadap bait yang diciptakan. Jenaka, dia kembali berdusta. Tentang harapan yang tak kunjung tiba membalas perasaannya. Tangan ringkih dia...