9. Kebablasan

29 4 2
                                    

Arunika muncul di balik awan, burung-burung kecil terbang sambil bercengkrama satu sama lain dari dahan-dahan pohon besar. Suara klakson motor di jalanan membangunkan seorang cowok dari alam mimpi. Cowok itu lantas mengecek jam di atas nakas samping ranjang, pukul 06:00.

Aksa mengubah posisi menjadi duduk, ia pikir sakit kepala tadi malam bisa sembuh sendiri ketika ia istirahat. Tapi nyatanya sakit itu malah masih bersarang, enggan pergi. Ia menoleh ke nakas lagi, tidak menyadari obat-obatan sudah Bi Astri siapkan entah sejak kapan.

Cowok itu berjalan mendekati pintu kamar mandi, masuk dan menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Dia menghela napas panjang, tangannya terangkat memegangi dada yang terasa nyeri. Ditambah pusing di kepalanya yang belum juga mereda. Aksa menyambar handuk tergantung di tembok, masuk ke tempat mandi yang terpisah dari wastafel.

Tak butuh waktu yang lama untuk Aksa sudah berganti pakaian dengan yang wangi, Bi Astri yang memberinya pewangi tambahan. Aksa memang tak suka wangi-wangian yang mencolok, ia lebih suka wangi khas yang lembut dan tenang.

"Mas," panggil seseorang dari balik pintu. Sesaat kemudian terdengar pintu kamar dibuka, memperlihatkan seorang wanita renta berclemek putih, wanita itu ialah Bi Astri, asisten yang sudah cukup lama bekerja di rumah mewah ini. Buru-buru Aksa mengubah raut wajah, ia tidak mau wanita itu merasa cemas akan kondisinya.

"Tadi malam Mas Aksa nggak minum obat ya? Harusnya diminum dulu baru istirahat."

Aksa tersenyum tipis. "Kenapa harus minum obat, Bibi bisa lihat kan? Aksa baik."

Bi Astri jelas tak percaya, ia menghampiri Aksa yang sedang duduk di bibir ranjang sambil memakai kancing, sayangnya belum sampai atas Bi Astri sudah datang. Tangan kasar akibat mengurus rumah itu mengelus lembut pucuk rambut Aksa, Aksa menikmatinya dengan cara memejam mata. Kepalanya masih terasa sakit.

Mungkin nanti malam ia harus kembali pergi ke psikiater.

"Bibi sudah masak, Mas turun ya, makan."

"Iya, nanti ya, Aksa belum lapar Bi."

"Haduh, sudah dibilang Mas Aksa harus rajin minum obat biar nggak kambuh sakitnya, malah ngeyel! Nanti Nyonya sama Tuan marah gimana?"

Aksa tertawa. "Mereka mana peduli, Bi. Aksa bisa mengurus diri Aksa sendiri, tanpa mereka."

"Jangan bilang begitu, Mas. Bibi tau Tuan sama Nyonya sibuk, tapi mereka pasti sayang sama Mas Aksa ..."

Aksa terdiam. Kapan terakhir kali ia bertemu kedua orang tuanya? Rasanya sudah begitu lama hingga rindu yang awalnya menggebu-gebu berubah jadi rasa tak peduli sama sekali. Aksa jujur, ia sangat menginginkan kedua orang itu pulang dari luar negeri, meninggalkan pekerjaan sebentar untuk menemani Aksa di rumah.

"Assalamu'alaikum ..." keduanya menoleh ke sumber suara.

"Wa'alaikumussalam."

Di depan kamar, seorang cowok berhelm full face berdiri tegap, salah satu tangannya menyangga tubuh di kusen pintu. Aksa menyipit, meneliti siapa itu.

"Lintang?" tanya Aksa memastikan.

Lintang membuka helm, tersenyum manis lalu berjalan mendekat. "Pakabar lo Sa? Dah lama gue nggak ketemu, abis pulang dari luar negeri makin bersinar aja lo!"

Bi Astri menabok tangan Lintang, membuat cowok itu berteriak. "Aduh! Bibi apaan sih, main tabok-tabok!"

"Mas Lintang ngapain datang ke sini? Mending pulang aja!" Sambil berkacak pinggang dan melotot.

"Ih, Bibi jahat masa ngusir saya sih?"

"Bibi tau Mas Lintang pasti punya maksud lain kan? Hayo ngaku!"

Ineffable |End|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang