Ancala hanya menghembuskan napas pelan melihat adiknya sedari di rumah sakit sampai pulang dari rumah sakit tetap murung, belum lagi dia harus terus menenangkan istrinya Indah yang terus menerus menyebarkan rasa kekhawatirannya pada Bentala ke seisi rumah. Ancala menyuruh Bentala untuk libur saja dulu.
"Biarkan pikiran dan tubuhmu rehat" Ancala menatap malang adiknya.
"Aku tidak apa-apa Bang, aku masih bisa jaga kafe" ucapan Bentala belakangan sering bertolak belakang dengan kondisi perasaan dan tubuhnya.
"Sudahlah Tala, kamu lebih baik istirahat dulu" Ancala memegangi pundak adiknya dengan kedua tangannya "kamu istirahat ya, di Indramayu. Sore nanti kamu pulang sama Abang— Rian kangen sama kamu."
"Nanti bikin repot Kak Indah" suara Bentala bahkan seperti berbisik, hampir tidak terdengar Ancala.
"Kamu itu tidak baik-baik saja, lihat wajah kamu sendiri!"
"TAPI AKU BAIK-BAIK SAJA BANG!" bibir pucat dan pecah-pecah Bentala bergetar, kenapa semua orang jadi mengatur hidupnya? Dia baik-baik saja, dia hanya— hanya, entahlah. Bentala sendiri tidak dapat mengidentifikasi dirinya sendiri.
Ancala memeluk tubuh lemas adiknya lalu mengusap kepala Bentala "kamu masih punya Abang, Tala. Kamu tidak pernah sendirian."
Setelah Bentala membereskan barang-barangnya, Ancala langsung membawa Bentala untuk sementara tinggal di rumah mertua Ancala. Rumahnya besar, halamannya luas, tepat di belakang rumah adalah persawahan yang sangat luas. Rumah mertua Ancala di bangun di tanah persawahan dekat jalan raya sehingga sekitarnya masih banyak sawah. Ada tetangga namun jaraknya berjauhan.
Bentala turun dari mobil Ancala dan dari dalam rumah Rian berlarian riang, Bentala seperti biasa jongkok dan membiarkan Rian memeluk lehernya. Dari pintu rumah juga keluar Indah iparnya dan ibu serta bapak mertua Ancala, orangtua Indah. Bentala menyalami mereka dan mereka terlihat sangat dekat dengan Bentala. Orangtua Indah sudah menganggap Bentala sebagai anak mereka sendiri, terlebih mereka mengetahui fakta bahwa sedari kecil Bentala sudah tinggal sendirian di rumahnya dan dipaksa hidup mandiri sementara Ancala pergi bekerja. Bentala sebenarnya sudah berkali-kali untuk diminta tinggal di rumah ini namun selalu menolak.
***
"Kasihan juga ya, Kak Tala" Luna membantu Herlambang mengusap piring-piring yang masih basah dan menyusunnya di bawah konter "entah ini sudah berapa hari Kak tala belum balik ke kafe, jadi sepi."
"Aku punya petasan, kalo mau biar ramai tinggal dibakar" ucap Herlambang.
"Beneran?" kini wajah Luna terlihat antusias, matanya berbinar. Sementara itu Herlambang melihat aneh pada gadis SMA itu lalu menggeleng miris dan kembali mengusap gelas dan piring.
"Pantes kamu belum punya pacar, Lun."
"Hubungannya apa?" Tanya Luna kesal, dia tahu dia tidak terlalu pintar— tapi dirinya lumayan laku kok "gini-gini aku laku lho, kak. Aku pernah dapat surat cinta dari teman sekelas" ucap Luna dengan bangga.
"Oh ya? Kapan?"
"Waktu SD, aku tidak ingat sih isinya apa— kalau tidak salah— entahlah aku tidak ingat" jawab Luna singkat, masih membanggakan dirinya. Sementara itu Herlambang memutar bola matanya tidak mau menanggapi lebih lanjut. Ancala masuk diiringi bel pintu kafe.
"Semangat 45, tanggal merah gini masuk kerja— bagus, bagus" Ancala mengacungkan jempol untuk Luna.
"Iya dong, libur gini jangan malas-malasan" kembali Luna membanggakan dirinya sendiri.
"Tala udah baikan Bang?" sudah lima hari Bentala tidak masuk ke kafe dan tinggal di Indramayu.
"Ya semoga di tempat baru dia bisa pulih dengan cepat" kalimat yang Ancala lontarkan penuh harapan, disertai dengan sedikit nafas kepasrahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cirebon dan Pohon Balas Dendam (TAMAT)
RomansaSUDAH TAMAT Satu hari di Kota Cirebon, tumbuh pohon misterius yang dapat tumbuh tinggi sampai mencakar langit dan kala malam dedaunan pohon menyemburkan cahaya kuning yang indah dan menenangkan. Di sisi lain, Gumitir adalah gadis yang selalu dirun...