Chapter One

40 2 3
                                    

    Seorang lelaki tua tengah menunggu cemas disudut kota London sambil sesekali menempelkan telepon genggamnya ke telinganya. Namun sejak tadi hanya balasan operator yang menanggapi panggilan tersebut.

Sekretarisnya kemudian memberitahukan padanya bahwa kolega yang ingin ditemuinya tidak bisa datang dikarenakan adanya masalah keluarga kolega tersebut. Raut muka sang lelaki tua berubah kecewa mendengar penuturan sekretarisnya tersebut. Hari ini seperti sebelumnya ia masih belum bisa mendengar sesuatu yang ingin diketahuinya sejak belasan tahun yang lalu. Mengetahui bahwa kegiatannya sejak tadi sia-sia, ia kemudian mengatakan pada sekretarisnya untuk membawanya ke rumah. Sepertinya langit tengah merasakan apa yang dialaminya hari ini. Gelap gulita ketika matahari menunggu pergantian giliran dengan Sang Bulan.

                     Di sisi lain kota London, seorang gadis dengan piawai memainkan harmonika di sebuah bangku yang terletak di Queen's Walk, pinggiran Sungai Thames. Sedikit lelah, ia berhenti kemudian memperhatikan guguran daun maple yang tertiup angin dan menepi disebelahnya. Musim gugur. Mengambil sehelai daun maple yang sudah kering kecoklatan lalu menyelipkannya kelembaran buku yang sejak tadi dibiarkannya terbuka.

Hari ini, ia harus pulang dengan berbekal perasaan hampa. Menemui Ayah dan Ibunya dirumah. Melakukan tradisi makan malam dengan keluarga di akhir pekan kemudian menghabiskan malam dengan celoteh tentang kegiatan di hari-hari sibuknya.

Ibu, haruskah aku pulang? Sejujurnya, aku masih tidak sanggup menemui Ayah. Ibu, apa yang harus aku lakukan?           

                                   .....

Seoul, Musim Gugur 2009

Yoon Jinhee bergegas melarikan dirinya dari sebuah rumah yang menjadi tempat tinggalnya. Mengingat bahwa ayahnya tidak akan membiarkannya kabur jika ia belum menghabiskan segelas susu cokelat buatan ibunya.

"Yoon Jinheeeee!!! Kemari anak nakaaaal, habiskan susu cokelatmuuu!!", teriak seorang lelaki yang kelihatannya sudah menginjak umur 40an.

"Maaf, Ayah. Aku ada jadwal piket hari ini. Dah, Ayah!!", jawab Jinhee sambil terseok-seok menapaki jalanan yang semakin menanjak.

Seperti biasanya, jalanan disekitar kompleks rumahnya belum ramai. Semua orang mungkin masih menikmati sarapan atau bahkan terlelap dengan bunga tidurnya. Sama seperti Sang Fajar yang masih enggan mengerjakan kegiatan rutinnya.

Jinhee kemudian berbelok di persimpangan jalan, menuju sebuah rumah bercat merah marun. Didalam rumah tersebut, tinggal seorang wanita paruh baya bersama seorang anak laki-lakinya. Park Dylan. Teman sepermainan Jinhee. Tak lama setelah Jinhee menekan bel rumah tersebut, wajahnya kemudian muncul di interkom rumah Dylan. Dylan kemudian mengatakan pada Jinhee agar dia masuk dan menunggu sebentar.

"Selamat Pagi, Nyonya Park!", sambut Jinhee saat memasuki rumah tingkat dua tersebut.

"Ahh, Jinhee-ya. Kau sudah sarapan? Ingin makan sesuatu? Minum susu, mungkin?"

"Oh, tidak Bu. Perutku sudah terisi dengan benar."

"Yaa!! Kau tidak bisa memanggil ibuku dengan sebutan seperti itu. Dia bukan ibumu, oh? Jadi berhentilah," sambut Park Dylan yang sedang menuruni tangga dengan sudah berseragam rapi.

"Kenapa? Kau boleh memanggil ibuku seperti aku memanggil ibumu. Aku tidak keberatan,"

"Ibu kupikir aku harus pergi. Kalau tidak kami mungkin terlambat,"

"Baiklah, kemari anak nakal," panggil Nyonya Park Yeonju pada anaknya. Kemudian mencoba mengacak rambut anaknya sebelum ia berlalu.

                                    .....

"Dylan, menurutmu apa yang akan kau lakukan jika kau menjadi seorang wanita?" ucap Jinhee membuka percakapan saat mereka berada didalam kereta listrik.

"Aku? Tidak, itu tidak akan terjadi."

"Yaa!! Dylaaan!!!! Apa yang akan kau lakukan jika kau seorang wanita yang menyukai seorang pria, oh?" tanya Jinhee sambil mengalihkan pandangannya kearah penumpang lain.

Dylan kemudian menarik lengan Jinhee, berusaha menatap manik matanya. Memperjelas kebenaran yang sedang dipikirkannya.

"Kau... menyukai seseorang?"

Oh, Dylan kau benar-benar cerdas. Bahkan dalam waktu semenit kau bisa menebaknya.

"Mmmm, kukira begitu. Aaaahh!!!!!! Dylan, lihat itu dia! Dia orangnya!!" pekik Jinhee sambil mengarahkan pandangan Dylan ke seorang remaja laki-laki yang berseragam sama dengan mereka.

"Dia....?"

                                     .....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Eternal VerityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang