Teruntuk Musim Kemarau yang Akan Berakhir

6 2 0
                                    

Dulu, saat Aluna masih seumuran dengan upin-ipin. Aluna juga pernah merengek untuk meminta sepeda kuning pastel seperti milik tetangganya. Namun, ayahnya justru melayangkan sebuah syarat paling konyol yang pernah didengar anak berusia lima tahun itu; Aluna harus dapat nilai sempurna saat ujian akhir semester satu TK di akhir bulan ini. Feliz juga diberi syarat aneh itu untuk mendapatkan sepeda atau mainan yang diinginkan.

Seperti anak kecil pada umumnya yang akan semakin merajuk dan menangis ketika keinginannya tidak terwujud, Aluna akhirnya menangis terus-menerus. Menghentakkan kaki, menimbulkan suara gaduh karena menumpahkan air, dan menyenggol toples keripik kesukaan ayah. Namun Iskandar tetaplah ayah berhati batu. Alih-alih menenangkan atau balik memarahi Aluna, ia malah membiarkan Aluna menangis sejadi-jadinya.

Iskandar malah sibuk menonton televisi. Menampilkan siaran berita politik. Aluna marah dan serta merta mematikan televisi. Pria itu hanya mendengus pendek, kemudian pergi ke dapur untuk sarapan tertundanya.

Ini hari minggunya yang berharga.

Tidak boleh dirusak meski sama anak kecil seperti ini!

Akhirnya dengan suara setengah berteriak, ia memanggil Feliz yang asik dengan PR untuk ikut mengerjakan PR juga.

Feliz kecil, berusaha dengan keras untuk mengajak Aluna yang masih di pendiriannya. Akhirnya menyerah juga. "Lihat, Aluna-nya gak mau."

"Semakin sering menangis, kamu akan semakin lemah. Kalau lemah, kamu gak bisa dapat nilai sempurna di ujian semesteran nanti. Sepeda-pun hangus sia-sia," Iskandar mengatakan itu tanpa melihat mata anaknya. Lurus ke depan. Menatap tumpukan piring kotor, seolah meminta dicucikan.

Iskandar selalu menjanjikan hal yang sama setiap tahun. Mulai dia TK sampai SD. Aluna baru berhasil mendapatkan sepeda ketika ia kelas 3 SD. Tentu saja bukan sepeda kuning pastel bergambar dorami di keranjangnya. Aluna sudah berganti selera, jadi sepeda itu bewarna putih polos.

Percuma rasanya, Aluna bahkan tidak bisa mengendarainya. Iskandar terlalu sibuk untuk melatihnya. Begitupun Feliz, ia tidak bisa mengendarai sepeda. Seiring dengan kesibukan dan terkikisnya keinginan untuk bisa, sepeda itu akhirnya menganggur di salah satu sisi rumah.

Entah kenapa, Aluna justru mengingat sepeda putih di saat seperti ini. Padahal ada hal yang lebih dipikirkan. Seperti bagaimana kehidupan ayah kandungnya—ah terlalu canggung untuk menyebutnya seperti itu. Ayah?

Ayah yang mana? Satu kata tidak bisa langsung merujuk pada salah satu dari mereka. ayah kandung dan paman?

Rumit juga hubungannya dengan keluarga. Ternyata rasanya seperti ini jika memiliki dua orang yang bisa dipanggil ayah. Aluna tertawa kecil. Menertawakan konyolnya pikiran di saat seperti ini.

Untuk kesekian kali, ia melirik jam tangan. Waktunya hanya tersisa 50 menit. Lift menimbulkan suara di tempat tujuannya. Lantai 6. Ia hanya butuh menaiki tangga satu kali lagi untuk sampai ke rooftop.

Di sana, Daisy menunggu sambil duduk atas tembok pembatas yang setinggi pundak. Sembari mengayunkan kaki dan menyanyi pelan lagu taylor swift, secara asal karena tak hafal lirik. Di bawah kakinya, tepat kebun bunga matahari menjalar di sana. Warna kuning, langit biru, awan putih, juga, gedung-gedung tinggi yang terlihat tertancap pada tanah. Gadis pecandu warna biru itu menyesal baru mengetahui rooftop sekolah yang selama ini hanya dijadikan tempat untuk menaruh kursi setengah rusak, atau sisa bahan material. Rupanya tidak seberantakan dugaannya. Malah view di sekitarnya sangat cantik. Seperti yang diketahui, Jakarta itu panas, tidak cocok berada di rooftop yang bisa saja memanggang kulit.

Suara hentakan pintu terbuka terdengar marah. Daisy berbalik, kemudian tersenyum. "Hai Aluna! Cie yang baru ketemu bapaknya."

Aluna berjalan cepat, dengan napas menderu karena berlari. "Kenapa, Daisy?"

Sunflowers In The Grass (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang