Karen, Leila, dan Mirna

453 59 57
                                    

"Buruan jelasin, Mas."

Pratama berdeham sesaat menatap Leila dan Karen yang duduk di hadapannya. Tangannya kemudian meraih tangan kiri Mirna untuk digenggam.

"Seperti yang ibu-ibu tau, saya dan Mirna sudah bertunangan. Saya juga sudah bertemu orangtua Mirna untuk meminta restu pernikahan. Jadi saya mohon, hargai perasaan saya terhadap Bu Mirna."

"Tapi kenapa Mirna, Mas? Padahal Mirna aja gak pernah kasih perhatian apapun ke Mas Tama." ujar Karen berusaha melakukan penolakan. 

Pratama tersenyum kecil. "Jauh sebelum saya pindah ke sini, saya cuman bisa perhatiin Mirna yang dulu seorang istri dari senior saya. Saya ngobrol sama Mirna pun gak pernah, cuman bisa denger senior saya ceritain tentang istrinya. Saya gak mau melewati batas dan rusak pernikahan orang," ujarnya dengan mata yang kemudian menatap ke arah Karen. 

"Mirna suka dateng ke Markas. Hanya untuk sekedar kasih makan siang dan ajak Anna main sama Ayahnya. Setelah suami Mirna meninggal, saya gak pernah liat dia lagi. Mirna juga pindah rumah, gak di rumah dinas lagi. Dan ternyata takdir baik sama saya, Bu," lanjut Pratama yang kini melihat ke arah Leila.

"Saya awalnya gak mau beli rumah di sini, ada pilihan lain. Cuman pas liat Bu Mirna ke luar rumah untuk buang sampah, saya mutusin untuk tinggal di sini. Saya mau kejar cinta saya."

Mirna menatap Pratama dengan mata berkaca-kaca. Tidak pernah tahu jika lelaki yang sedang menggenggam tangannya ini sudah mencintainya dari lama. Mirna tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada Pratama. Bahkan seisi ruangan pun terdiam akibat penjelasan dari Pratama. 

"Jadi ibu-ibu, saya mohon untuk saling mengerti dan menghargai. Tolong hargai saya dengan terima apa yang terjadi saat ini dan tetap menjadi tetangga yang baik untuk kami," ujar Pratama memecah keheningan.

Leila menghembuskan napas pelan. "Kalau emang gitu pilihan Mas Pratama, saya terima. Dan Mirna," ujarnya yang kemudian menatap ke arah Mirna. "Maafin aku."

Mirna tersenyum ke arah Leila. "Gak apa-apa, gak usah minta maaf. Kamu pasti kaget denger aku udah tunangan sama Mas Tama."

"Lebih kaget lagi denger dia udah sayang sama kamu dari lama. Aku gak mau hancurin kebahagiaan siapapun." Leila tersenyum kecil. "Soalnya aku tau gimana rasanya kebahagiaan aku dirusak orang lain," lanjutnya dengan mata yang melirik sinis ke arah Karen. 

"Bu Karen?" panggil Pratama meminta balasan. 

"Saya pulang," ujar Karen yang langsung berlalu meninggalkan rumah Pratama. 

Ketiganya menghela napas pelan melihat Karen yang pergi begitu saja.

.
.
.

"Ng? Tante Karen pindah rumah, ya?" tanya Rai kepada Ari di pagi hari itu saat melihat depan rumah Karen terdapat truk pengangkut barang.

"Iya, kayanya. Berarti Bunda sama Ayah bebas dari pelakor, kan?"

"Emang pelakor tuh apa?"

"Kesimpulan yang aku dapet pas denger Tante Winnie ngobrol sama tante lainnya, pelakor itu pengambil laki orang. Artinya, setiap laki-laki yang udah beristri pasti bakal diambil."

Rai menyatukan alisnya. "Diambilnya untuk apa?"

Ari ikut menyatukan alisnya untuk berpikir. "Aku juga kurang tau sih. Mungkin untuk penelitian? Mungkin aja ada yang beda sama laki-laki kecil, laki-laki besar belum beristri, dan laki-laki besar udah beristri."

"Emang bedanya, apa?"

"Aku gak tau, Rai," balas Ari dengan jengah. "Nanti kalau Tante Karen udah keluarin bukunya bakal aku baca, aku kasih tau kamu."

Hugo's Short Stories CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang