7 Oktober 2021
Semestaku sebelum kau datang, hanyalah rasa sakit yang memenuhi tiap sudut demi sudut kehidupan. Hitam pekat menutup celah mentari yang seharusnya menerangi. Setiap hari langkahku tersekat, nafasku terhimpit, kebebasan terbatas.
Aku hanyalah seorang pemuda yang memohon belas kasih Tuhan untuk memberikan satu kebahagiaan saja dari rasa sakit yang selama ini kujalani.
Setiap hari aku dikerubungi rasa takut, benci dan rindu. Bermimpikan kedua orangtuaku yang meninggalkanku tenggelam dalam perihnya kehidupan. Sendiri bersama orang-orang yang menyiksa fisik dan batin.
Lalu semesta menghadiahkanku satu titik harapan, kamu. Gadis sederhana yang memberikan satu cahaya padaku. Hadir dengan ketulusan dan rasa yang menjelma cinta. Membuat gelora dalam diriku tertanam penuh semangat untuk bertahan dan berjuang bersamamu.
Aku tak peduli lagi rasa sakit yang makin hari makin membuatku tak mampu melangkah. Sebab, sebuah senyum yang kau suguhkan setiap waktu, bagai obat penyembuh luka dalam diriku.
Aku tahu, akan ada banyak halang rintang yang menggoyahkan kita, namun percayalah semua akan sanggup kita lalui bersama tanpa saling meninggalkan.
Nara terenyuh. Air matanya menetes lagi membaca catatan itu. Ternyata Arya sebegitu bersyukurnya memiliki Nara. Sementara Nara tak pernah menyadari itu. Lalu Nara membuka catatan lain.
10 Oktober 2021
19 tahun telah berlalu. Aku hidup dan jeruji yang setiap hari menekanku begitu kuat. Meski begitu, aku tetap bertahan. Berharap suatu saat nanti ku temukan kebebasan, walau itu mustahil ku dapatkan.
Dua orang dan 1 foto kini tengah tersenyum padaku. Disatu sisi aku begitu rindu, namun disisi lain aku membenci mereka. Dua orang yang seharusnya ada di sisiku, menemani masa kecil, remaja hingga dewasaku, malah pergi begitu saja ketika aku belum tahu kerasnya dunia.
Ya Allah... Kapan aku menemukan kebahagiaan? Apa salahku sehingga diberi kehidupan yang begitu menyedihkan? Seharusnya aku juga berhak bahagia, sama seperti mereka yang kini tengah tertawa.
Nara menatap Wildan yang tengah tertunduk lemah. "Wil, ini bener?"
Wildan mengangguk tanpa menatap Nara. "Gue dan Rangga saksi betapa sakitnya kehidupan Arya, Nar. Dia gak sebahagia yang kita lihat. Dia rapuh, Nar. Bener-bener rapuh."
Nara merasa bodoh. Nara merutuki dirinya sendiri karena tak pernah tahu apa yang selama ini Arya rasakan. Yang ia pikirkan hanyalah tentang dirinya.
Nara merasa jadi manusia paling egois sekarang. Nara kembali membalik halaman selanjutnya. Ia sempat terkejut ketika melihat noda darah yang sudah mengering dan berubah warna menjadi kecoklatan. Wildan menjelaskan.
"Itu kayaknya darah Arya, Nar. Gue yakin. Karena setiap dia disiksa, Arya selalu bonyok bahkan sampe berdarah-darah."
Nara ingat, sering ia menemukan Arya dalam keadaan babak belur. Laki-laki itu beralasan kalau luka itu Arya dapatkan ketika Kyorugi Taekwondo.
"Seharusnya lo menyadari dari lama, Nar. Gue pengen jelasin semua ke lo, tapi Arya selalu memohon ke gue untuk gak pernah mengatakan itu semua. Arya gak mau lo tau rasa sakitnya."
"Arya.."
Nara menangis, ia tak tahu lagi kata apa yang pantas Nara lontarkan untuk dirinya yang bodoh ini. Nara melanjutkan membaca di halaman lain.
1 November 2021
Menangis adalah caraku meluapkan segalanya selain adu fisik. Mungkin segelintir orang akan menyebutku laki-laki yang lemah dan mudah terbawa perasaan seperti perempuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIFURKASI RASA [SEGERA TERBIT]
Novela JuvenilBifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah r...