19. Rayen Jovankara

114 21 45
                                    

"Hidup itu mudah, mudah-mudahan masih waras."

Ib.Someone

Niolip
.

"Kay ... Kay ... Belum ada sebulan gue kenal sama, lo. Kok, lo jadi cewe keren banget, sih?" gumam seorang lelaki, yang menaikan kedua kakinya ke atas meja pada ruang tamu dirumahnya. Jemarinya terus sibuk, melihat beberapa foto disebuah akun media sosial yang tampaknya milik Kayrena–teman kelasnya. "Cantik," bisiknya, mendapati satu foto Kayrena yang diposting dengan senyuman lebar.

Hingga satu notifikasi mengacaukan fokusnya, "Huh ... Sundel," kesalnya, membuka pesan.

[Ray, nyontek Biologi yang pilihan ganda. Sama Matematika! Plis ... .]

"Melany emang kebiasaan males apa gimana, sih? Udah satu semester, kerjaannya nyontek terus." Rayen, ia mengeluh panjang. Lalu kaki panjangnya ia langkahkan, pergi menuju kamarnya. "Biologi, ya?" serunya, seraya mencari buku latihan dari tumpukan buku lainnya pada rak coklat dihadapannya. Tanpa basa-basi, ia langsung mengirimkan foto kepada Melany, sesudah itu ia langsung mengabaikan bukunya yang terbuka lebar. Lalu ia mengirimi pesan lanjutan kepada Melany.

[Matematika belum gue kerjain,] pesan Rayen membalas.

Begitu kasar, ia merebahkan badannya. Ia hendak beristirahat di siang hari ini, pikirnya. Lantas, ia pun menaruh ponselnya kasar ke permukaan kasurnya. Satu lengannya terangkat, menempel sempurna dikening, ia pun berusaha tidur.

Belum ada 15 menit ia mencoba tenggelam dalam mimpi, sesuatu mengagetkannya. Ia merasakan wajahnya dilempari sesuatu, membuatnya terkesiap dan langsung bangun seketika. "Sialan!" umpatnya, mendapati sebuah jaket diwajahnya. Rayen langsung menggulung jaket tersebut dan melemparnya kasar entah kemana. "Ganggu orang tidur, lo, bangsa*." Ia mengumpat di akhir kalimat, "Belum ada semenit gue tidur." Ia mengeluh lagi, kepada seorang lelaki yang masih berseragam sekolah lengkap dengan ransel hitamnya yang ia rangkul hanya sebelah bahu.

Tampak, laki-laki dihadapan Rayen, tak peduli. Ia lebih memilih memandang kamar Rayen dengan seksama, sesekali ia memegang sebuah miniatur tokoh Marvel yang begitu banyak menghiasi kamarnya.

"Jangan sentuh barang-barang gue!" Rayen memperingati, namun laki-laki dihadapannya tak peduli dan memilih mengambil satu miniatur spiderman. "Taruh," pintanya.

"Gue minta."

"Ck! Lo bisa beli, nggak harus ngambil punya gue!" keluh Rayen. Laki-laki ini bangkit dari tidurnya, dan langsung merebut barang miliknya. "Tangan lo kotor."

"Bersih," jawab lawan bicara Rayen.

"Gimana? Udah lo anter dengan selamat? Cowo sialan emang, lo!" pungkas Rayen, seraya duduk di tepi kasur.

"Siapa?"

"Kayrena, lah. Bego!"

"Udah," jawabnya–Adrian, memilih duduk dan bersandar disebuah kursi belajar Rayen.

"Mau lo apa, sih?"

"Apanya?" tanya Adrian balik.

"Lo udah bikin dia ada di situasi kayak gini, nggak ngerasa bersalah?" bincang Rayen, kini menyandarkan badannya ke tepi kasur. "Pengen banget gue nonjok muka, lo," Rayen mengambil ponselnya.

ADKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang