6 hari yang lalu...
Lagi dan lagi pertahanan Arya runtuh ketika sampai kembali di apartemen Wildan. Ia tak bisa menahan sesak di hatinya mengingat Nara lebih memilih orang lain ketimbang dirinya.
Padahal Arya sudah menjelaskan panjang lebar dalam pesan. Berusaha berbicara langsung dengan Nara untuk meluruskan kesalahpahaman.
Tapi semua nihil berhasil. Nara lebih memilih menjauhinya secara perlahan tanpa ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Arya tahu, sudah dari awal dia salah. Seharusnya Arya mencaritahu sendiri perihal keberadaan orangtuanya. Bukan menurut pada keinginan Ferdi yang memaksanya dijodohkan dan iming-iming akan dipertemukan dengan orangtua kandungnya.
Rindunya telah memenuhi isi kepala sehingga Arya tak bisa berpikir jernih dan lebih baik bersabar saja. Padahal dalam surat dan cerita Bi Sumi jelas-jelas memberikan titik terang untuknya.
Arya menengadah, merintih dengan air mata yang menetes deras. Tak ada lagi alasannya untuk diam dan bertahan di sini. Tak ada lagi yang harus ia perjuangkan di sini.
Nara telah memutuskan untuk keluar dari hidupnya. Kini Arya sendiri dengan rasa sakit yang menusuk hati. Dia pun berdiri, mengemasi beberapa lembar baju ke dalam ransel. Keputusannya bulat, fokus mencari ibunya yang sekarang entah ada dimana.
Berbekal foto dan alamat yang diberikan Bi Sumi, meski alamat itu kini bukan tempat ibunya berada, tapi sekali lagi Arya ingin memastikan. Siapa tahu jika bukan di sana, ibunya berada di sekitar tempat itu.
Sebelum benar-benar keluar dari apartemen Wildan yang kini sepi, sebab Wildan sudah pergi ke kafe, Arya memandangi foto mereka bertiga sewaktu mereka baru saja resmi membuka kafe.
Sebagai bentuk rasa syukur, mereka mengadakan acara pengajian yang dihadiri oleh anak-anak yatim piatu. Mengingat itu, senyum terbit di wajah Arya.
Untuk sesaat Arya bimbang, haruskah dirinya meninggalkan kedua sahabatnya yang telah memberikannya semangat hidup?
Mereka berdua tak pernah perhitungan untuk terus membantu Arya. Sekalipun Arya terkadang menyusahkan, Rangga dan Wildan tak pernah mengeluh.
Justru mereka dengan sabar dan lapang dada untuk selalu membantu Arya. Mereka adalah dua sahabat yang melebihi kata saudara untuk Arya.
Perhatian yang tak Arya dapatkan dari orangtua kandung dan orangtua angkatnya, bisa Arya dapatkan dari kedua sahabatnya.
Beralih kepada foto yang ia simpan di atas nakas. Fotonya dan Nara. Semenjak pindah ke apartemen Wildan, Arya diberikan satu kamarnya sendiri oleh Wildan.
Untuk itu Arya menghiasnya dengan memajang beberapa foto di atas nakas maupun di dinding. Dan yang kini ia pandangi adalah fotonya dengan Nara yang kala itu berada di taman bermain. Nara terlihat nampak senang, senyumnya yang merekah indah sampai kedua matanya menyipit membentuk bulan sabit.
Arya mendekapnya, mengacungkan botol minuman dengan cengiran khas. Foto itu menyimpan momen yang luar biasa indah untuk Arya. Sebab hari itu mereka tak lepas tertawa. Akan tetapi, mengingat dimana Nara memegang tangan Arsen, hatinya kembali ditusuk-tusuk.
Meskipun begitu Arya tetap tersenyum dan melantangkan dalam hati, "Aku tetap sayang sama kamu, walau kamu milih dia tepat di depan aku."
"Makasih buat kalian yang udah jadi alasan gue tersenyum dan tetap hidup. Sekarang gue harus pergi, mama nunggu gue. Semoga kita suatu saat ketemu lagi." Ujarnya, lalu Arya keluar dari kamar dan tepatnya keluar dari lingkungan apartemen itu menuju stasiun kereta api.
......
Pemandangan berganti dengan cepat. Suara nyaring cerobong kereta api yang beradu dengan derit dari ban yang menggesek rel membuat Arya makin larut dalam lamunannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIFURKASI RASA [SEGERA TERBIT]
Teen FictionBifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah r...