Tahun telah berganti, semua orang merayakan dengan penuh suka cita. Berbagai kembang api menghiasi malam yang begitu indah.
Namun euforia tak dirasakan oleh orang-orang yang telah kehilangan sosok Arya. Masih pada suasana berduka, air mata tak elat untuk menetes mengingat sosok yang sangat berharga dalam hidup mereka.
Sudah dua pekan berlalu semenjak kepergian Arya, namun kesedihan masih terpatri. Nara, masih menangisi kepergian sang kekasih.
Setiap hari yang ia lakukan hanyalah meratapi kesedihan yang mendalam. Bersimpuh di atas kasur sampai lupa makan dan minum.
Untuk itu, Arsen tak pernah meninggalkan. Dia selalu berusaha untuk selalu berada di samping Nara. Menjaga Nara dan kesehatan gadis itu.
Meskipun respon tetap sama, Arsen selalu berakhir mendapat penolakan dari Nara karena tak mau makan meski sudah berulang kali dibujuk.
Kesedihan tak hanya dirasakan oleh sahabat dan kekasihnya saja, kedua orangtua Nara sudah dekat dengan Arya merasakan kehilangan.
Terutama Rama. Setiap pagi ketika ia hendak mengeluarkan burung perkutut dari dalam rumah, ia selalu mengingat Arya. Perbincangan panjang yang selalu dilakukannya bersama pemuda itu adalah kenangan abadi dalam ingatan.
Serta Tani yang selalu melamun ketika hendak memasak. Sebelum meninggal, Arya selalu membantu Tani memasak jika Arya berkunjung kemari.
Walaupun hanya membantu sedikit dan berakhir mengotori dapur. Bagi mereka, Arya bukan hanya sekedar kekasih Nara, namun juga sudah dianggap sebagai anak.
Membaca berulang kali catatan Arya, Nara selalu berakhir dengan tangis yang sama. Ia masih tak percaya jika dirinya akan kehilangan Arya begitu cepat.
Padahal banyak rencana yang akan ia lakukan dengan pemuda itu. Dan rencana paling Nara impikan adalah menikah dengannya.
Namun semua rencana-rencana itu hanya akan berakhir sebagai wacana. Sebab Arya kini sudah tak lagi berada di langit yang sama dengannya.
Arya sudah menjadi bagian dari kenangan yang tak akan pernah Nara lupakan.
"Kalau nanti kita nikah, gapapa ya kalau rambut aku panjang sampai bahu? Itu impian aku loh." Seru Arya dengan pandangan menerawang ke langit.
Mereka tengah tiduran di atap kampus untuk menikmati sore yang begitu sejuk.
"Kamu mau nikah atau kuproy sih? Masa mau rambutnya panjang." Nara terkekeh geli.
Arya menoleh. "Justru itu langka tau. Dari dulu aku pengen banget punya rambut panjang kayak Wildan sama Rangga. Mereka kelihatan keren banget tuh. Apalagi pas rambutnya diiket. Beuhhh parah! Aku gak terima kegantengan aku terkalahkan oleh mereka!"
"Kalau gitu, kenapa kamu gak panjangin rambut aja kayak mereka?"
Arya menghela napas panjang. "Pernah waktu itu di pas aku masih sekolah. Padahal baru panjang dikit, udah langsung di potong sama guru BK. Belum lagi pas aku jadi mahasiswa baru, baru panjang dikit juga langsung disuruh potong. Apalagi dosen di sini gak kasih izin mahasiswanya rambut panjang, kan kesel."
Nara tertawa melihat ekspresi cemberut Arya. "Namanya juga keguruan, masa rambut panjang. Mau contohin murid biar gak disiplin di sekolah?"
"Iya walaupun keguruan, tapi aku gak bakal jadi guru. Makanya pas nanti aku lulus, mau panjangin rambut!" Seru Arya.
"Terus mau jadi apa dong setelah lulus?"
"Aku pengen jadi manusia bebas yang bisa ngelakuin apa aja yang aku mau tanpa larangan siapapun. Aku udah capke dilarang sana-sini, diatur sana-sini sampai aku lupa kapan terakhir kali aku ngerasa bahagia atas apa yang aku lakuin sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
BIFURKASI RASA [SEGERA TERBIT]
Подростковая литератураBifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah r...