Naina gugup di sepanjang perjalanan dari Bogor menuju Jakarta. Telapak tangannya tak berhenti meremas satu sama lain. Keduanya dingin. Isi kepalanya sibuk membayangkan apa yang akan terjadi nantinya.
Melihat betapa semangatnya Aluna membuat hatinya meringis dalam diam. Anaknya terlihat bahagia. Bahkan, Aluna berkali-kali berceloteh tentang apa yang akan dibincangkan olehnya dan sang Ayah.
"Bunda bawa buku raporku, kan?" tanya Aluna. Gadis kecil itu merasa bundanya tak memperhatikan. "Bunda ...."
Amalia menyenggol lembut lengan Naina yang termenung. Seketika, Naina pun sadar kalau sang anak tengah mengamatinya. Aluna menatap dirinya khawatir.
"Kenapa, Sayang?" tanya Naina. "Luna tadi tanya apa?"
"Bunda kenapa?" sahut Aluna. "Bunda nggak apa-apa, kan?"
"Rapor," bisik Amalia pada Naina.
"Tadi Luna tanya soal rapor, ya?" Naina berusaha untuk tak membuat anaknya khawatir. Aluna menjawabnya dengan anggukan. "Ada di tas."
"Aku mau kasih lihat ke Ayah."
Perjalanan semakin mendekati tujuan. Aluna begitu menikmati gemerlap lampu-lampu indah yang menghiasi ibukota. Ini kali pertamanya berkunjung ke Jakarta.
Mobil berhenti di lobi sebuah hotel. Entah kenapa Naina semakin dibuat tak tenang. Lambaian tangan seseorang menghadirkan senyuman di bibirnya.
"Pasti macet banget, ya," ucap Dhitta. Tanpa buang waktu, ia pun segera mengecup punggung tangan Amalia. "Mas Katon sudah booking kamar. Kita nginap di sini dulu. Ibu pasti capek, kan?"
"Lumayan, Dhit," jawab Amalia.
Aluna bersorak gembira saat pintu kamar terbuka. Gadis kecil itu sibuk memindai seluruh hal di dalamnya. Dhitta dan Naina membantu Amalia untuk segera bersandar di tempat tidur.
"Sebentar lagi kita turun untuk makan malam bareng, ya," ucap Dhitta pada Naina dan Amalia. Dhitta menangkap gurat khawatir di wajah Naina. "Mas Bhumi nggak ikut makan malam. Dia bilang mau pulang sebentar dan balik lagi besok."
Naina mengucap syukur di dalam hati. Setidaknya semesta membantu untuk mengulur waktu. Namun, lagi-lagi hatinya kembali sakit saat melihat putrinya. Naina yakin kalau saat ini hal yang paling Aluna inginkan adalah ayahnya.
"Besok mau jalan-jalan?" tanya Dhitta pada Aluna.
"Mau!" pekik Aluna girang. "Jalan-jalan ke mana, Budhe?"
"Ke mana aja yang Luna mau. Mumpung kita di Jakarta, kita harus jalan-jalan. Luna mau ke mana?"
"Mau lihat ikan," sahut Aluna semangat. "Teman-teman bilang kalau di sini ada tempat yang banyak ikan di akuariumnya. Boleh, Budhe?"
"Boleh, Sayang." Dhitta mengusap puncak kepala Aluna penuh sayang. Batinnya meringis. Anak semanis Aluna harus menjadi korban keegoisan kedua orangtuanya. "Besok kita jalan-jalan ke sana."
***
Dhitta menemani Naina dan Aluna pergi. Ketiganya berangkat setelah sarapan di kamar. Amalia absen ikut dan lebih memilih untuk beristirahat di kamar.
Pesona ibukota tak pernah gagal menarik perhatian Aluna. Gadis kecil itu bahagia seolah mimpi-mimpi masa kecilnya menjadi kenyataan. Pikirnya menginjakkan kaki di Jakarta tak akan pernah terwujud.
"Bunda lapar." Aluna mengeluh dengan tangan yang mengusapi perutnya.
Petualangan ketiganya terbilang panjang. Selesai menyaksikan begitu banyak ikan, Dhitta lanjut mengajak mereka menikmati taman bermain kebanggaan kota Jakarta.