"Nanti pulangnya gimana?"
Kara mengaitkan helm yang tadi Naya gunakan di jok belakang motornya. Remaja itu lalu mengeratkan jaket yang membalut tubuh jangkungnya dengan begitu pas.
"Mau dijemput sekalian atau pulang sama kak Jendra?"
Naya merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena terkena angin waktu di perjalanan menuju sekolah.
"Gak tau. Liat nanti deh. Kalo gak bareng Jendra mungkin Kakak pesen gojek aja."
"Gak usah," cegah Kara. "Biar Kara jemput Kakak aja nanti. Kakak tunggu di sekolah aja sampe Kara dateng," imbuhnya.
Naya tersenyum tipis. "Bukannya kamu pulang bareng ...." Gadis itu menggantungkan kalimatnya membuat Kara lantas mengerutkan dahinya.
"Bareng siapa?" tukas Kara cepat.
Naya hanya tertawa-tawa melihat wajah adiknya yang tampak kesal. "Enggak-enggak. Yaudah Kakak mau masuk dulu, kamu hati-hati ya di jalan. Kabarin Kakak kalau udah sampai sekolah," ucap Naya pada Kara. Adik kecilnya yang sekarang sudah remaja ditambah tinggi laki-laki itu jauh melebihi dirinya. Perasaan dulu tingga Kara tidak sampai bahunya. Tapi kenapa sekarang justru kebalikannya?
Kara mendengus. Dia mengangguk singkat, lalu bergegas mengendarai motor sport hitam milik kakak keduanya. Kara melaju, meninggalkan Naya yang masih berdiri di depan gerbang sekolah. Naya terus memerhatikan motor Kara yang semakin menjauh dan ditelan jarak. Hingga akhirnya ia tidak dapat melihatnya lagi. Naya kemudian berbalik, melangkah memasuki sekolahnya yang luas bersama salah seorang temen kelasnya yang ia temui ketika berjalan di lapangan.
Naya meletakkan tasnya di atas meja lalu duduk di bangkunya nomor dua tepat di dekat pintu kelas. Naya duduk di pinggir dekat tembok. Dari dulu gadis itu sangat menyukai posisi bangku yang berdekatan dengan dinding. Baginya tidak ada kenikmatan selain dapat bersandar di dinding kelas sambil mendengarkan guru yang menjelaskan mata pelajaran di depan kelas.
Naya merogoh saku roknya ketika sesuatu bergetar di dalam sana. Ia mendapati sebuah pesan masuk dari Kara yang memberi tahu Naya jika ia sudah sampai di sekolah dengan selamat. Baguslah, batin Naya. Ia kemudian mengetikan balasan lalu mengirimnya kepada Kara sebelum ia kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas.
"SELAMAT MORNING EPRIBADIIIIIIII!!!"
Suara cempreng itu menggelegar memenuhi ruangan kelas 11 IPS 4. Semua orang yang ada di kelas itu hanya bisa mendengus sebal. Mereka semua sudah tidak heran dengan suara jelek bak kaleng rombeng itu. Hampir setiap hari suara itu menyapa semua teman kelasnya dengan semangat 45.
Dengan rasa percaya diri yang tinggi melebihi tinggi menara Burj Khalifa, laki-laki berbadan tidak kurus namun juga tidak gendut itu berjalan menuju bangkunya yang berada di sudut paling belakang. Sudut kematian yang mana tempat itu adalah markas para murid laki-laki yang bandel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Burung Kertas untuk Naya
Dla nastolatkówKatanya, kalau kita berhasil membuat 1000 burung kertas, satu keinginan kita akan terwujud. Namun, apakah itu juga berlaku untuk Jendra? Jendra ingin membuat satu permohonan kepada Tuhan. Jendra ingin Tuhan memberinya kesempatan kedua untuk membahag...